Minggu, 15 November 2009

Katekese Kontekstual

Aggiornamento adalah sebuah semboyan Vatikan II dalam katekese umat yang berarti ‘bukalah jendela lebar-lebar’. Dalam sintesis akhir studi kateketik ini saya akan bertitik tolak dari semboyan tersebut. Semboyan tersebut sangat menggelitik hati saya untuk mencari makna yang terkandung dari kata tersebut.
***
Katekese di zaman ini banyak mengalami tantangan yang begitu besar. Katekese yang terbentur dengan tawaran zaman bukan menjadi teman tetapi bukan juga menjadi musuh. Katekese berbeda jauh dengan apa yang ditawarkan zaman. Tawaran zaman yang menyuguhkan hal yang menarik dan membuat setiap orang menjadi ketagihan. Hal ini tidak hanya menyerang orang dengan kualifikasi tertentu tetapi hampir setiap orang sudah ‘terinfeksi’ dengan apa yang disebut dengan syindrom tawaran zaman, entah itu anak-anak, kaum muda, maupun orang tua. Anak-anak lebih menyukai melihat televisi atau bermain video game, play station, apalagi sekarang tidak heran seorang anak bermain game mobile (game di dalam handphone). Kaum muda sibuk dengan relasi di dalam dunia maya seperti apa yang sekarang sedang merebak di dunia anak muda yaitu facebook, saya mencoba melakukan penelitian kecil dengan bertanya kepada beberapa teman yang menggunakan facebook, banyak teman memberi tahu saya mereka bisa menghabiskan waktu 4 – 6 jam untuk on line di depan komputer untuk ‘berchatting ria’ dengan teman melalui facebook ataupun on line dengan handphone yang sudah dilengkapi dengan perangkat internet. Bapak-bapak sibuk setiap malam melihat tayangan olah raga, sampai pagi maupun seorang bapak yang lebih mementingkan pekerjaannya. Ibu-ibu lebih menyukai melihat tayang sinetron, telenovela, maupun tayangan gosip di televisi. Sebuah fenomena yang sudah tidak baru lagi, apalagi di tengah-tengah zaman ditandai oleh sekularisasi, globalisasi, sikap indiferentisme, materialisme dan masih banyak lagi, sedangkan katekese di beberapa Paroki dilakukan satu minggu sekali dengan proses katekese dari pertemuan pertama sampai selanjutnya tidak pernah berubah, baik model maupun metodenya. Yang berakibat setiap orang jarang mengikuti katekese dengan berbagai alasan, dari alasan jenuh sampai alasan ada acara lain yang lebih penting, semua alasan itu diungkapkan hanya untuk menghindari katekese.
Melihat situasi zaman yang sekarang ini, sungguh sesuatu yang memprihatinkan. Zaman semakin maju, bukan berarti dengan adanya kemajuan IPTEK itu tidak baik, tetapi semua itu tergantung cara kita menyikapinya. Maka untuk dapat mencapai semboyan aggiornamento, perlu kita mengkaji lebih dalam dan paling tidak mengetahui beberapa hal yang penting demi kemajuan katekese. Aggiornamento bukan hanya menjadi sebuah semboyan semata tetapi makna dari kata tersebut ‘bukalah jendela lebar-lebar’, memberi isyarat bagi kita untuk melihat dunia dewasa ini, bukan memusuhi dunia melainkan berteman dengan dunia untuk itu hal terpenting yang perlu diketahui selain butir-butir pengetahuan iman seperti Kitab Suci, hukum Gereja, dan hakikat katekese perlulah kita mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dalam umat atau dengan kata lain seperti pendapat seorang ahli pendidikan beriman terkemuka dari Amerika Serikat Mary C. Boys, kita perlu mengetahui peta katekese. Boys berpendapat bahwa peta merupakan cara mengkonsepkan, merumuskan dan mengkomunikasikan kenyataan atau keadaan suatu wilayah. Peta sebagai cara berpikir ‘way of thingking’. Tetapi untuk dapat memahami maksud aggiornamento, kita tidak boleh hanya sebatas memahami apa itu katekese dalam pembuatan peta ini, tetapi juga seperti sikap Boys kita juga harus berpikir inklusif, tidak hanya lingkungan jemaat Katolik tetapi sungguh bertolak dari kenyataan, analitik dan imaginatif. Dengan demikian peta katekese sungguh membantu mempermudah umat menemukan makna iman di dalam hidup sehari-hari.
Dengan memahami hal-hal penting tersebut di atas bukan hanya mengetahui, dapat dirumuskan arti katekese dan tujuannya walaupun banyak pengertian katekese. Katekese menurut Paus Yohanes II dalam anjuran apostolik Cathechesi Trandendae (CT) diartikan sebagai pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen. Tujuan katekese menurut CT, untuk menolong umat agar semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini ditegaskan kembali oleh pendapat Thomas Groome tentang hakikat dan tujuan katekese bahwa katekese merupakan gerakan mengkomunikasikan harta kekayaan iman Gereja supaya dapat membentuk dan membantu jemaat memperkembangkan imannya pada Yesus Kristus baik secara personal maupun komunal demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah kenyataan dunia. Selain itu di Indonesia dalam PKKI II katekese diartikan sebagai usaha kelompok secara terencana untuk saling menolong mengartikan hidup nyata dalam terang Yesus Kristus sebagaimana telah dihayati dalam tradisi Gereja, agar mereka semakin mampu mengungkapkan dan melaksanakan iman mereka. Tujuan katekese menurut PKKI II terdiri dari 5 tujuan yaitu:
Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari
dan kita bertobat (metanonia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiranNya dalam kenyataan hidup seharihari
dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan semakin dikukuhkan hidup Kristiani kita.
Kita semakin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat, dan mengokohkan Gereja semesta
sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita.
Tujuan tersebut selaras juga dengan tujuan katekese yang diungkapkan oleh Afra atau lebih dikenal dengan tujuan Afra yaitu mengenal Gereja yang mau dibentuk. Untuk melengkapi tujuan tersebut saya menambahkan pendapat Groome tentang katekese Holistik, bahwa tujuan katekese adalah pengembangan hidup jemaat agar secara bersama-sama ikut berjuang mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia.
Dari beberapa uraian tentang pengertian dan tujuan katekese tersebut saya mencoba merumuskan pengertian katekese sebagai suatu komunikasi iman dari peserta katekese yang saling bersaksi tentang iman mereka akan Yesus Kristus dalam suasana yang terbuka, saling menghargai, saling mendengarkan dalam proses yang terencana dan berjalan terus menerus. Tujuan katekese saya rumuskan untuk membantu umat untuk semakin beriman akan Kristus dan menjadi saksi Kristus di tengah dunia melalui sikap dan tindakan kita di tengah masyarakat yang mencerminkan murid Kristus yaitu kasih dan pelayanan terhadap sesama.
Agar katekese benar-benar bertujuan untuk membantu jemaat semakin mengimani Kristus maka di dalam katekese perlu adanya elemen penting yaitu pengalaman iman umat dan harta kekayaan Gereja. Di dalam katekese pengalaman hidup dikonfrontasikan dengan harta kekayaan Gereja. Kekayaan Iman Gereja dikomunikasikan untuk mengusahakan visi Kristiani agar dapat dijangkau oleh umat, kita memiliki iman Kristiani bukan hanya sekedar percaya kepada Kristus tetapi beriman Kristiani adalah sebuah panggilan untuk menjadi saksi kebenaran. Dengan demikian ke dua elemen tersebut sangat penting karena selain pengalaman yang diolah di dalam katekese juga iman umat.
Di dalam katekese kita banyak mengenal berbagai macam bentuk atau model, dari sotarai, SCP, hingga Naratif Eksperensial. Dari katekese yang sering saya ikuti, naratif eksperensial sangat membantu umat dalam memahami dan menyelami iman mereka. Naratif eksperensial menyajikan sesuatu dalam bentuk cerita. Cerita dijadikan bahan sekaligus isinya. Kisah (bahan) diceritakan sebagai mitra dialog dengan pengalaman umat dan merangsang umat (peserta) untuk semakin masuk ke dalam cerita serta dapat menciptakan suasana dialog, untuk itu pencerita (katekis di dalam katekese) dituntut untuk menguasai sebuah cerita (bahan) dengan baik. Cerita yang dibawakan adalah cerita yang berperan sebagai pengantara antara kebenaran dan manusia, antara pengalaman dan pemahaman, dan antara kenyataan dengan sikap manusia. Banyak orang menyukai cerita dan bercerita, apalagi bercerita tentang pengalaman (eksperensial) mereka. Dengan bercerita tentang pengalaman hidup mereka dan mengolah cerita tersebut menjadi pengalaman iman sungguh sangat membantu penghayatan iman umat. Katekese naratif eksperensial mengikutsertakan semua panca-indra, perasaan, kesan, dan akhirnya seluruh kehidupan.
Metode dan sarana di dalam katekese juga sangat berpengaruh dalam proses katekese agar tujuan katekese dapat terwujud. Metode yang sering digunakan adalah metode ceramah dan cerita tatapi menurut saya metode cerita sangat baik. Sedangkan sarana sebagai pendukung metode sangat membantu. Semboyan Vatikan II dalam katekese umat aggiornamento dapat diterapkan di dalam mencari metode dan sarana, kita memang harus ‘membuka jendela lebar-lebar’, kita harus melihat situasi umat dewasa ini di mana kemajuan IPTEK di bidang elektronik sungguh maju pesat. Untuk itu bahan yang dikemas dalam cerita dapat diberikan pada umat dengan dibantu oleh kemajuan IPTEK, maksudnya kita dapat menggunakan slide dalam bercerita maupun film dalam bercerita. Untuk itu, hendaknya sebagai katekis harus juga belajar tentang kemajuan zaman. Perlulah kita ‘keluar’ dari benteng kita untuk melihat dunia luar tetapi tetap berpegang teguh pada iman kita sebagai filter hidup.
Selain metode dan media katekekese suasana di dalam katekese juga berperan dalam membantu kelancaran proses penyelenggaraan katekese. Suasana terbuka di dalam proses katekese sangatlah diperlukan. Dengan keterbukaan hati dan pikiran maka setiap orang (peserta katekese) dapat saling mendialogkan pengalaman iman mereka dasn saling memperteguh iman mereka akan Yesus Kristus. Dengan keterbukaan maka secara tidak langsung suasana komunikatif dapat terbangun.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan katekese sangat penting dan umat sungguh membutuhkan katekese. Robert T. O’Gorman berpendapat bahwa setiap orang beriman rindu untuk menghayati imannya di dalam hidup sehari-hari, sehingga iman menjadi lebih penting. O’Gorman juga menyebutkan Gereja, keluarga, masyarakat, dan sekolah sebagai ekologi katekese dan jemaat memiliki tempat yang sentral di dalam berkatekese. Dengan demikian umat sungguh membutuhkan katekis yang dapat membantunya (membantu umat) untuk membuat proses katekese benar-benar dapat membantu dalam menghayati iman di dalam hidup sehari-hari.
Kalau kita mengkaji dari katekese sendiri dan kerinduan umat akan penghayatan imannya, katekese yang relevan adalah katekese yang melibatkan diri dalam masalah masyarakat. Kalau katekese hanya bergerak di dalam Gereja, apakah Gereja tidak menjadi dunia tertutup dan iman Kristiani hanya menjadi benteng bagi dunia? Karena itu hubungan antara katekese dan masalah masyarakat dipandang semakin penting. Katekese yang terlibat dalam masalah masyarakat tidak terutama dimaksudkan untuk mempertobatkan orang. Secara lebih positif katekese bertujuan membangun persaudaraan semua orang. Dalam suasana yang bersaudara, dosa dan kesalahan sesama saudara dapat dihapus agar mereka boleh ikut terlibat dalam usaha pembebasan (datangnya Kerajaan Allah). Lain halnya kalau katekese bertujuan menegakkan ajaran, maka dosa dilihat sebagai hutang yang harus dilunasi. Padahal dengan unsur cinta kasih dan persaudaraan, dosa dan kesalahan atau hutang dapat dihapus oleh siapa saja. Inilah yang dibuat oleh Yesus, karena itu Ia dimusuhi oleh para penegak hukum. Sekalipun demikian yang penting bagi Yesus bukan mempertobatkan orang berdosa tetapi menghapus dosanya lalu bersama-sama membangun Kerajaan Allah di mana semua manusia bersaudara. Jadi, katekese yang relevan untuk saat ini adalah katekese yang melibatkan diri dalam masalah masyarakat dan hal ini sesuai dengan semboyan yang dari awal selalu saya tegaskan ‘aggiornamento’, atau dengan istilah lain Katekese Kontekstual, iman yang kita miliki bukan berhenti hanya percaya tetapi menjadi motor yang kita bagikan terhadap sesama, seperti ungkapan Santo Yakobus “Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:17), hal ini selaras juga dengan ungkapan Paulo Freire dalam bukunya Pendagogi Hati “... ada dalam iman berarti bergerak, menerjunkan diri ke dalam berbagai bentuk tindakan yang bertautan dengan iman kepercayaan itu ...”
Lalu yang menjadi sebuah pertanyaan adalah:
Figur katekis macam apa yang sungguh dicita-citakan?
Figur katekis yang saya cita-citakan, seorang katekis seperti punakawan, punakawan adalah seorang abdi (pelayan) di dalam pewayangan. Punakawan terdiri dari dua kata ‘puna’ dalam terminologi jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna di balik setiap peristiwa. Kata ke dua adalah ‘kawan’ berarti pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna menjadi teman yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala peristiwa. Punakawan dapat diartikan pula sebagai seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal budi, wawasan luas, dapat dipercaya. Khasanah budaya jawa menyebutnya sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita” yang artinya kritis terhadap situasi dan cerdas dalam mengambil keputusan.
Dalam pewayangan punakawan mempunyai tugas yang dapat saya rumuskan sebagai berikut:
Menemani (mengabdi) sekaligus membimbing atasannya.
Menasehati atasannya, teman bercengkrama, penghibur di kala atasan susah.
Mengkritik, menasehati dengan cara halus yang dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat, atau sering disebut pepeling akan sikap selalu eling dan waspada.
Mengajak ke dalam kebaikan.
Dari tugas tersebut dan makna tersebut apabila diterapkan dengan spiritualitas seorang katekis yaitu pelayanan, bagi saya sangat cocok. Pelayanan mengandung makna yang tersirat di dalamnya dan makna tersebut saya analogikan dengan makna punakawan dalam pewayangan. Dengan demikian tugas seorang katekis samgatlah berat tetapi dengan menghayati tugas tersebut sebagai panggilan maka tugas yang berat tersebut akan terasa ringan.

TELEVISI DAN PENDALAMAN IMAN: TEMAN ATAUKAH LAWAN?

A. LATAR BELAKANG
“Cepat nak belajar jangan nonton TV terus”, hardik seorang ibu kepada anaknya.
”Nanti Bu sebentar lagi, masih bagus acaranya”, jawab anaknya.

***

”Kok bisa ya Anang cerai dengan Krisdayanti, yo jeng , kata seorang ibu rumah tangga pada sesama teman ibu rumah tangga.
”Iya ya jeng padahal sudah serasi, saya jadi gak habis pik, lho itu jeng malah sekarang berita Ahmad Dani, wah gak habis-habis cerita tentang si Dani ya jeng” , jawab ibu yang lain.

***

”Bapak ini cepetan to Pak jadi nganter ibu arisan gak sich, dari tadi kok cuma ngopi sambil nonton bola aja”, marah seorang istri pada suaminya.
”Iya-iya ntar dulu to sebentar lagi arisan cuma dekat aja, apa mau gelar tikar po?”, jawab suami sekenanya.

***

Beberapa penggal fenomena yang sering terjadi di dalam keluarga dewasa ini. Televisi seolah-olah menjadi suatu hal yang sangat berharga, bahkan kalau kita mengkaji setiap peristiwa seakan seseorang tidak bisa lepas dengan televisi. Dalam sebuah kajian Pater Pierre Babin, yang dikutip Romo Iswarahadi dalam bukunya “Beriman dengan Bermedia”, mengatakan bahwa masyarakat di seluruh dunia dewasa ini begitu dipengaruhi oleh media televisi. Orang bisa kerasan di depan televisi, bahkan anak-anak muda bisa duduk di depan televisi selama empat sampai enam jam (2003:29).
Dari fenomena di atas bila dibandingkan dengan pendidikan iman atau pendalaman iman di suatu lingkungan, sangatlah berbanding terbalik. Bila ditawarkan secara terang-terangan pilih pendalaman iman atau nonton televisi, jawabannya pastilah nonton televisi. Sedangkan diketahui acara-acara televisi dewasa ini menayangkan acara yang kurang mendidik. Jam-jam di mana waktu luang untuk sebuah keluarga (jam 16.00 – 20.00 WIB), kebanyakan stasiun televisi menayangkan sinetron, yang isinya tidak jauh dari dendam, perebutan cinta, perebutan warisan, perebutan perusahaan, dan perkelahian serta tayangan yang berbau tahayul, yang hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Sedangkan manusia cenderung memiliki sifat meniru apa yang dilihat. Mulai dari kanak-kanak, seseorang meniru cara bicara, berpakaian, bertingkahlaku dari orang-orang di sekitarnya, terlebih meniru orang tua (Dick Hartoko, 1984:22). Melihat kenyataan tersebut bahwa manusia memiliki kecenderungan meniru dan dikonfrontasikan dengan keadaan sekarang bahwa manusia ‘membatasi’ diri dalam bersosial dengan benda yang disebut televisi, yang menjadi sebuah pertanyaan refleksi adalah “Televisi dan Pendalaman Iman: teman ataukah lawan?”.

B. TELEVISI: TUJUAN DAN FUNGSINYA
Televisi menurut Atang Syamsudin televisi terdiri dari kata tele, dari kata yunani yang berarti jauh dan vision dari bahasa latin yang artinya melihat. Jadi secara harafiah artinya melihat jauh. Sedangkan menurut Effendy yang dikutip dari http://digilib.petra.ac.id/ads-cgi/viewer.pl/jiunkpe/s1/ikom/2009/jiunkpe-ns-s1-2009-51401075-5269-yamaha_mio-chapter2.pdf, mengartikan televisi adalah media komunikasi jarak jauh dengan penayangan gambar dan pendengaran suara, baik melalui kawat atau secara elektromagnetik tanpa kawat.
Sesuai dengan UU Penyiaran Nomor 24 tahun 2007, Bab II pasal 4, penyiaran bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masyarakat adil dan makmur. Dari UU tersebut pula pada Bab II pasal 5 penyiaran mempunyai fungsi sebagai media informasi dan penerangan, pendidikan dan hiburan, yang memperkuat ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan.
Tujuan dan fungsi media di atas selaras dengan Ajaran Gereja yang terkandung di dalam Dekrit tentang upaya-upaya komunikasi sosial (Inter Mirifica) art. 9, bahwa Gereja memberikan dukungan terhadap informasi yang disiarkan oleh media yang menampilkan nilai keutamakan, ilmu pengetahuan dan kesenian.
Melihat tujuan dan fungsi televisi yang dipaparkan di atas, televisi dapat memberikan sumbangan yang baik apabila tujuan tersebut terlaksana dan penyiaran televisi benar-benar difungsikan dengan baik, karena sebagai media televisi mampu memberikan sugesti kepada pemirsanya, secara langsung melalui program acaranya, dan secara tidak langsung melalui iklan-iklannya, atau dengan kalimat lain yang dikutip dari buku Beriman dengan Bermedia bahwa zaman televisiadalah zaman yang penuh pesona (Iswarahadi, 2003:29).

C. MANFAAT DAN KERUGIAN TELEVISI
Acara-acara yang ditayangkan di dalam televisi memiliki manfaat dan kerugian. Dr. A. Mansur mengemukakan manfaat dari tayangan televisi memberikan pengaruh positif dengan adanya program televisi yang bernafaskan keagamaan seperti penyejuk iman katolik, mimbar agama katolik dan adanya acara atau tayangan yang bernuansakan pendidikan atau pengetahuan seperti berita. Tetapi menurut Mansur pula televisi justru memberikan banyak pengaruh negatif, kepada pemirsanya, setelah maupun pada waktu melihat tayangan televisi, sehingga mempengaruhi pandangan para pemirsa ke arah negatif. Adapun pengaruh negatif tersebut adalah:
1. Sering menonton televisi akan melalaikan tugas dan kewajibannya bagi para pemirsanya.
2. Sering menonton televisi akan mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar murid.
3. Anak-anak cenderung lebih menyukai tayangan yang bernuansakan kekerasan.
4. Setelah menonton televisi mereka suka meniru apa yang telah mereka tonton.

Kalau membaca uraian Mansur tersebut dan kenyataan acara-acara televisi perlu suatu kesadaran dari dalam diri untuk memilih acara televisi yang benar-benar baik untuk perkembangan diri. Dan bagi anak-anak perlulah orang tua benar-benar memantau anak-anaknya setiap menonton televisi.
D. TELEVISI DAN PENDALAMAN IMAN
Kalau kita amati dalam siaran televisi dalam satu minggu. Hampir setiap televisi menyiarkan acara bernafaskan keagamaan satu kali dalam seminggu. Dan penyiaran tersebut ditayangkan tidak pada jam-jam seseorang memiliki waktu senggang saat menonton. Dengan demikian jawaban dari pertanyaan dari awal tulisan ini bahawa televisi dan pendalaman iman teman ataukah lawan dapat dijawab sesuai dengan keadaan setiap pribadi dalam menyikapinya. Tetapi pendalaman iman dapat belajar dari televisi.
Banyak hal yang dapat dipelajari dari televisi, agar pendalaman iman dalam suatu lingkungan menarik. Hal yang dapat dipelajari adalah bahasa. Televisi memiliki bahasa simbol. Berbeda dengan pendalaman iman di lingkungan, katekis seringkali di dalam pendalaman iman (katekese) banyak mengajar saat kotbah. Bahasa simbol bukan mengajar, tetapi bahasa yang membujuk Kekayaan bahasa televisi ini perlu mendapat perhatian kalau kita mau menawarkan iman untuk orang zaman sekarang (Iswarahadi, 2003:31).
Robert T. O’Gorman berpendapat bahwa setiap orang beriman rindu untuk menghayati imannya di dalam hidup sehari-hari, sehingga iman menjadi lebih penting. O’Gorman juga menyebutkan Gereja, keluarga, masyarakat, dan sekolah sebagai ekologi katekese dan jemaat memiliki tempat yang sentral di dalam berkatekese.
Televisi menjadi dekat dengan pemirsanya karena televisi menayangkan masalah yang ada di dalam masyarakat. Untuk itu katekese yang relevan adalah katekese yang melibatkan diri dalam masalah masyarakat. Kalau katekese hanya bergerak di dalam Gereja, apakah Gereja tidak menjadi dunia tertutup dan iman Kristiani hanya menjadi benteng bagi dunia? Karena itu hubungan antara katekese dan masalah masyarakat dipandang semakin penting. Katekese yang terlibat dalam masalah masyarakat tidak terutama dimaksudkan untuk mempertobatkan orang. Secara lebih positif katekese bertujuan membangun persaudaraan semua orang. Dalam suasana yang bersaudara, dosa dan kesalahan sesama saudara dapat dihapus agar mereka boleh ikut terlibat dalam usaha pembebasan (datangnya Kerajaan Allah). Lain halnya kalau katekese bertujuan menegakkan ajaran, maka dosa dilihat sebagai hutang yang harus dilunasi. Padahal dengan unsur cinta kasih dan persaudaraan, dosa dan kesalahan atau hutang dapat dihapus oleh siapa saja. Inilah yang dibuat oleh Yesus, karena itu Ia dimusuhi oleh para penegak hukum. Sekalipun demikian yang penting bagi Yesus bukan mempertobatkan orang berdosa tetapi menghapus dosanya lalu bersama-sama membangun Kerajaan Allah di mana semua manusia bersaudara. Katekese Kontekstual, iman yang kita miliki bukan berhenti hanya percaya tetapi menjadi motor yang kita bagikan terhadap sesama, seperti ungkapan Santo Yakobus “Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:17), hal ini selaras juga dengan ungkapan Paulo Freire dalam bukunya Pendagogi Hati “... ada dalam iman berarti bergerak, menerjunkan diri ke dalam berbagai bentuk tindakan yang bertautan dengan iman kepercayaan itu ...”





Kasih Yesus itu seperti ‘TRANS TV’ milik kita bersama, cintaNya seperti ‘SCTV’ satu untuk semua. Percayalah Yesus membuat kita seperti ‘RCTI’ yang semakon oke.
(Ulangan 31:8)









DAFTAR PUSTAKA
Dick Hartoko. (1984). Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.
http://digilib.petra.ac.id/ads-cgi/viewer.pl/jiunkpe/s1/ikom/2009/jiunkpe-ns-s1-2009-51401075-5269-yamaha_mio-chapter2.pdf
Iswarahadi Y. I. (2003). Beriman dengan Bermedia. Yogyakarta: Kanisius.
Konsili Vatikan II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II (R. Hardawiryana, Penerjemah). Jakarta: Obor. (Dokumen asli ditebitkan tahun 1966).
Mansur, Awali. (1993). Manfaat dan Mudarat Televisi. Jakarta: Fikahati Anska.
Tanpa Pengarang. 1997. UU Penyiaran Nomor 24. Jakarta: Sinar Gratika.

Sakramen Tobat (Sakramen Rekonsiliasi)

A. Rekonsiliasi atau tobat dalam Kitab Suci
Sakramen Tobat diistilahkan pula dengan rekonsiliasi (reconciliatio). Rekonsiliasi: merangkum sekaligus: inisiatif Allah yang lebih dahulu menawarkan pendamaian kepada umat-Nya (pendamaian dengan Allah), pendamaian kita dengan sesama dan seluruh alam ciptaan sebagai dimensi sosial dan ekologis, dan penyembuhan yang bermakna penemuan kembali kehidupan damai pada hati orang yang bertobat dan telah menerima pengampunan dosa.
1. Perjanjian Lama: bencana dan penderitaan akibat dosa dan kesalahan. Konteks dosa bukan secara pribadi tapi pertama-tama adalah seluruh umat (bdk. Yer 2:13.19). Pertobatan yang diungkap dalam bentuk tanda (upacara kultis): berkumpul untuk mengaku dosa (Ezr 9:13; Neh 9:36-37), berpuasa (Neh 9:1; Yl 1:14), mengenakan kain kabung (Neh 9:1; Yl 1:13), duduk di atas abu atau meneburkan abu di kepala (Yewr 6:26; Yun 3:6), menyampaikan korban bakaran (Im 16:1-19), dsb. Tapi yang penting adalah pertobatan batin, pertobatan hati dan sikap hidup yang nampak dalam dimensi sosial.
2. Dalam karya Yesus pengampunan dosa dihubungkan dengan penyembuhan. Yesus Kristus mempunyai kuasa untuk mengampuni dosa.
3. Kuasa pengampunan dosa dilanjutkan dalam diri Petrus (Mat 16:19) dan Gereja (Mat 18:18)
4. Pelimpahan pengampunan dosa yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja dilaksanakan secara konkret oleh pelayan Gereja.

B. Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat dalam Praksis dan Ajaran Gereja
1. Rekonsiliasi jemaat menurut model tobat publik (tobat kanonik) pada zaman Patristik
Tobat publik diperuntukkan untuk anggota Gereja (sudah babtis) yang melakukan dosa berat (murtad, membunuh, berzina). Tahap tobat publik:
Pengakuan dosa publik di hadapan jemaat dipimpin uskup à Masa tobat berlangsung selama beberapa tahun sesuai perintah usakup dengan melaksanakan perbuatan tertentu sebagai wujud denda dosa à Upacara rekonsiliasi (biasanya pada Kamis Putih) bila masa tobat telah selesai dan denda dosa telah dilaksanakan.
2. Tobat pribadi (pangakuan dosa pribadi) sejak abad VI
Praktek tobat kanonik menghilang dari kehidupan gereja. Muncul praktek tobat pribadi dari Irlandia oleh para rahib. Praktek tobat ini mudah diterima dan meluas sebab ringan dan dapat diulang dan dilakukan secara pribadi di depan imam. Tobat pribadi diterima dan diajarkan resmi Gereja melalui Konsili Leteran IV (1215).
3. Teologi Skolastik mengenai sakramen tobat
Sakramen tobat masuk ke dalam 7 sakramen. Tekanannya adalah ciri pengadilan dari sakramen tobat. Persoalan: kuasa imam memberikan absolusi(pelepasan dosa ~ schlusselgewalt). Penyesalan: syarat penerimaan sakramen tobat.
4. Ajaran resmi Gereja pada abad Pertengahan mengenai sakramen tobat
Sakramen tobat dibahas oleh Gereja mulai dari Konsili Lateran IV (1215), Konsili Florenz, Konsili Trente (1551), hingga Konsili Vatikan II pada abad XX.
5. Sakramen tobat dalam semangat Konsili Vatikan II.
Yoh. Paulus II melanjutkan semangat dan ajaran Vatikan II dan memandang sakramen rekonsiliasi merupakan tugas pokok dari Gereja yang merupakan sakramen pendamaian.

C. Refleksi sistematis: teologi sakramen rekonsiliasi
1. Rekonsiliasi dengan Allah: Allah menewarkan pendamaian kepada manusia dengan mengutus Yesus Kristus putraNya, melalui wafat dan kebangkitan Kristus kita diperdamaikan kembali dengna Allah. Babtisan sebagai tanggapan kita menanggapi pendamaian Allah.
2. Rekonsiliasi dengan Gereja: Sakramen rekonsiliasi mendamaikan kita yang berdosa dan seluruh Gereja.
3. Rekonsiliasi dengan semua makhluk dan alam lingkungan: Sakramen rekonsiliasi, merangkum seluruh tata relasi manusia dengan alam. Pertobatan berdampak pada pembangunan kembali pada alam lingkungan.
4. Pengampunan dosa dan pembaruan hidup: Sakramen rekonsiliasi menganugerahkan Roh Kudus sebagai pengampunan dosa dan kekuatan untuk pembaruan hidup.
D. Masalah pastoral sakramen rekonsiliasi
Dewasa ini banyak tempat sakramen tobat kurang diminati. Seluruh mentalitas zaman modern sudah merasuk jauh dalam spiritualitas hidup orang kristiani. Dengan kemajuan cara berpikir dan pendidikan tinggi, orang semakin rasional dan dalam arti tertentu mudah kehilangan rasa berdosa, sebab orang dapat membuat rasionalisasi perbuatannya. Sedangkan model pengakuan dosa pribadi bagi sementara orang terasa berat karena perasaan malu kepada imamnya.

E. Masalah indulgensi
Inulgensi (indulgentia ~ kemurahan): penghapusan di hadapan Allah hukuman-hukuman sementara untuk dosa-dosa yang kesalahannya sudah dilebur, yang diperoleh oleh orang beriman kristiani yang berdisposisi baik serta memenuhi syarat-syarat tertentu, diperoleh dengfan pertolongan Gereja yang sebagai pelayan keselamatan, secara berkuasa membebaskan dan mengeterapkan harta pemulihan Kristus dan para Kudus (KHK kan. 992).
Kristus memberi kuasa pada Gereja untuk melepaskan dan mengampuni dosa. Gereja berhak membagikan harta kekayaan yang berdaya guna, yakni Yesus Kristus sendiri beserta karya penebusanNya, dan juga karya para Kudus di surga yang tentu saja ada dalam ikatan dengan karya penebusan Kristus.

F. Diskusi ekumenis mengenai sakramen tobat
Dialog ekumenis antara Gereja Barat dan Gereja Timur hingga sekarang paling tidak sampai pada titik temu pada hubungan antara sakramen tobat dan Ekaristi. Sakramen tobat dilihat dalam konteks kebersamaan ekaristik Gereja.
Dialog Gereja Barat dengan Gereja Reformasi mengenai sakramen tobat masih pada tingkat awal. Bagi Gereja Reformasi pengakuan dosa merupakan pewartaan rahamat Allah yang bersifat membenarkan manusia dan mengampuni dosa.

Agama dan Teror

BAB I
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Bola dunia mulai tahun 2001, tak lagi berwarna biru. Dongeng anak sudah terkubur. Kisah damai dengan akhir bahagia luluh lantak. Bola dunia menjadi gelap bukan hanya drama penculikan Abu Sayyaf di Filipina yang tak kunjung usai atau pembunuhan di kalangan keluarga kerajaan Nepal, bukan hanya karena perang, banjir di berbagai belahan bola dunia masih juga mendera hidup manusia, serangan terhadap menara kembar WTC (World Trade Center) yang menyebabkan tewas dan hilangnya ribuan korban.
Nampaknya fenomena ini menjadi menarik untuk dicermati. Jangan-jangan analogi semacam ini juga dapat dikenakan pada tindakan yang selama ini kita sebut sebagai terorisme. Jangan-jangan, para teroris pun memiliki tujuan yang mereka anggap mulia bagi peradaban ini di balik aksi teror mereka. Bukankah ini sama halnya dengan pemerintah Amerika yang merencanakan tindakan kekerasan atas nama perdamaian dunia? Lebih jauh lagi, jangan-jangan perdamaian dunia ini ternyata hanyalah sebuah komoditi untuk pemenuhan kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Dalam tahun-tahun belakangan ini semakin banyak didiskusikan mengenai kerukunan hidup beragama. Diskusi-diskusi ini sangat penting, bersamaan dengan berkembangnya sentimen-sentimen keagamaan, yang setidak-tidaknya telah menantang pemikiran teologi kerukunan hidup beragama itu sendiri, khususnya untuk membangun masa depan hubungan antaragama yang lebih baik, lebih terbuka, adil dan demokratis.
Kita semua tahu, bahwa masalah hubungan antaragama belakangan ini memang sangat kompleks. Banyak kepentingan ekonomi, sosial dan politik yang mewarnai ketegangan tersebut. Belum lagi agama sering dijadikan alat pemecah belah atau disintegrasi, karena adanya konflik-konflik di tingkat elite dan militer.

BAB II
PEMBAHASAN

A. AGAMA DAN TEROR
Terorisme sejak hancurnya Gedung WTC telah menjadi ulasan utama forum internasional. Mengapa terjadi terorisme? Walaupun hal ini bukan fenomena baru, namun beberapa dekade terakhir cenderung semakin sering meluas dan memakan korban jiwa semakin banyak.
Runtuhnya Gedung WTC, peristiwa peledakan bom di Legian Bali menegaskan fenomena signifikan terorisme di dalam beberapa dekade terakhir yaitu motif keagamaan terbukti mampu menciptakan kehancuran yang maha dahsyat. Motif keagamaan membuat langkah-langkah yang sulit diterima logika umum. Seseorang atau sekelompok orang rela menyerahkan hidupnya untuk aksi bunuh diri dengan keyakinan bahwa perbuatan mereka akan mendapatkan imbalan surgawi dari Tuhan.

1. Eksklusifisme Agama
Memang, dalam sejarah telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai sekarang.
Pandangan eksklusif seperti itu memang bisa dilegitimasikan atau tepatnya dicarikan legitimasinya. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh, dalam tradisi Katolik, sebelum Konsili Vatikan II Gereja dipandang dan dihayati sebagai institusi keselamatan, yaitu lembaga yang perlu didatangi dan dimintai bantuannya kalau seseorang menginginkan serta membutuhkan keselamatan. Di dalam Gereja itulah tersedia keselamatan seutuhnya dan di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus) tetapi sejak Konsili Vatikan II (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama non-Kristiani (Hand Out Mata Kuliah Ekklesiologi).

2. Kekerasan Bersimbol Agama
Melacak Kekerasan bersimbol keagamaan, Dian Nafi mengetengahkan 4 sebab kekerasan bersimbol agama, yaitu:
a. Struktur dominan yang kini berkembang dan potensial bagi munculnya bentuk-bentuk perlawanan dengan kekerasan.
b. Dalih yang dipandang logis bagi disertakannya simbol keagamaan dalam kekerasan
c. Ingatan kolektif masyarakat yang merekam sejarah kekerasan dan terpanggil kembali saat situasi memungkinkan pemunculannya kembali ke tataran aksi.
d. Lemahnya sosialisasi norma, pola sikap dan kecakapan untuk membangun kehidupan majemuk tanpa pola kekerasan.
Menurut Karen Amstrong, menempatkan agama sebagai biang kekerasan terlepas dari faktor struktural yang melingkupinya, dengan demikian menimbulkan kekaburan pemahaman bahwa dikalangan para penganut agama terdapat komunitas fundamentalis. Peperangan yang bernuansa agama sebenarnya bukan bermula dari agama itu sendiri, melainkan politisasi agama untuk kepentingan kekuasaan dan sumber-sumber ekonomis.

B. PLURALISME DAN DIALOG ANTAR AGAMA
1. Pluralisme
Menurut Budi Munawar, dewasa ini penerimaan atas pluralisme tidak bisa hanya didasarkan atas kesadaran bahwa kita ini adalah bangsa yang majemuk dari segala segi SARA-nya, sebab kalau ini pijakannya, maka kita sebenarnya berangkat dari kenyataan sosial yang terpecah-pecah, karena itu diperlukan pluralisme sebagai cara untuk menghindari kefanatikan.
Padahal kebutuhan sekarang bukan hanya karena fakta sosiologis saja, tapi bisakah paham pluralisme itu dibangun karena begitulah faktanya mengenai Kebenaran Agama, bukan hanya karena fakta sosialnya.

2. Dialog Antar Agama
Sejalan dengan kebutuhan itu, teologi agama-agama bisa menjelaskan alasan teologisnya mengapa suatu agama perlu masuk dalam dialog antar-agama.
Menurut Hendropuspito dialog antar umat beragama adalah suatu temu wicara antara dua atau lebih pemeluk agama yang berbeda, dalam mana diadakan pertukaran nilai dan informasi keagamaan pihak masing-masing untuk mencapai bentuk kerja sama dalam semangat kerukunan. Tujuan dialog ini adalah untuk mencapai saling pengertian dan saling penghargaan yang lebih baik antar penganut agama dan kemudian bersama-sama menjalin hubungan persaudaraan yang jujur untuk melaksanakan rencana keselamatan yang dikehendaki Tuhan yang memanggilnya.

3. Salah Satu Ajaran Iman Kristiani dalam Beretika dalam Menghadapi Masalah Teror Berdalih Agama
Roma 12:17-21 merupakan bagian dari rangkaian nasihat Paulus tentang bagaimana memancarkan kasih sebagai etika, yaitu tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, justru sebaliknya melakukan yang baik bagu semua orang dan hidup dalam perdamaian dengan semua orang (bdk. ay. 17-18). Tidak melakukan balas dendam sebab pembalasan adalah hak Allah (bdk. ay. 19). Yang terakhir adalah selalu memperbanyak kebaikan agar kejahatan menjadi malu (bdk. ay. 20-21).




BAB III

A. KESIMPULAN
Dari kajian yang saya paparkan dalam makalah ini saya menyimpulkan bahwa tidak ada satu agama pun di dunia ini yang jahat, tetapi yang jahat adalah manusianya. Satu kata dalam menyimpulkannya yaitu:
"Satu Tuhan, dalam banyak jalan".
Untuk menjelaskan kesimpulan tersebut saya akan menjelaskan dengan analogi sebagai berikut,
"Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah kita tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju kampus IPPAK? Oleh karena itu apabila yang kita pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang kita pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan."
Akhirnya dalam spirit kesatuan inilah, kita menghargai keberbedaan. Perbedaan agama-agama ini harus dikenal dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara potensial bernilai dan penting bagi setiap orang beragama dalam pemerkayaan imannya.

B. PENUTUP
Memang masalah terorisme menjadi semakin pelik dan ruwet saat ini, namun itu akan bertambah menakutkan apabila kebaikan dalam wujud nilai dan tindakan: persahabatan, persaudaraan, keteladanan, keadilan dan kemanusiaan memudar dan sirna dari kehidupan ini. Semoga saja tidak demikian!





DAFTAR PUSTAKA


Budi Munawar. 2000. Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Universitas Paramadina Mulya
Dian Nafi. 2003. Kekerasan Bersimbol Keagamaan Sebagai Beban Sejarah. Malang: SIKI
Hendropuspito. 1984. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Karen Amstrong. 2001. Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi. Bandung: Serambi Ilmu Semesta.
Kitab Suci Perjanjian Baru. Ende: Percetakan Arnoldus
Putranto. 2008. Hand Out Mata Kuliah Ekklesiologi

Aku adalah aku

Foto saya
bantul, yogyakarta, Indonesia
Seorang manusia biasa yang mencoba bersuara pada dunia tentang Kedamaian.