Minggu, 24 Juli 2011

Mengenal Seni Teater Tradisional Indonesia

Di Indonesia banyak memiliki bentuk-bentuk seni teater. Seni teater ini sering disebut teater tradisional. Berikut adalah gambaran tentang bentuk teater tradisional yang berkembang di Indonesia.

A. Wayang
Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan , dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang. Semua itu berasal dari akar kata "yang" yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang, akar kata yang. Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, melayang.
Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain untuk menerangkan kata dan makna wayang itu dalam bahasa Jawa yang disebut sebagai ayang-ayang. Misalnya seseorang yang sedang berdiri atau duduk di suatu tempat, kemudian ia diterpa cahaya matahari yang mengenai badan orang itu, maka orang itu menghasilkan bayangan. Bayangan inilah yang kemudian oleh orang Jawa sering dinamakan ayang-ayang. Tentu saja panjang-pendeknya ayang-ayang tersebut sangat bergantung pada sudut posisi matahari. Apabila matahari dalam posisi rendah, maka bayangan orang itu menjadi panjang, dan apabila sudut matahari tinggi, bayangan semakin pendek.
Pengertian-pengertian wayang di atas lebih beroriantasi pada seni pertunjukan yang memperhatikan/menekankan pada efek yang dihasilkan pada suatu boneka atau sejenisnya setelah benda tersebut dikenal/disorot dengan cahaya yang datangnya dari sebuah lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan. Dari bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat, layar (kelir), yang akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang layar (dibalik kelir). Bila demikian maka terdapat dua bagian bayangan; yang pertama, bayangan di depan layar terjadi apabila boneka tersebut digerakkan menjauhi layar dan mendekati blencong, maka bayangan akan membesar baik di depan atau di belakang layar.

B. Makyong
Makyong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Makyong dipengaruhi oleh budaya Hindu-Buddha Thai dan Hindu-Jawa. Nama makyong berasal dari mak hyang, nama lain untuk dewi sri, dewi padi. Di zaman dulu, pertunjukan makyong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi. Makyong adalah teater tradisional yang berasal dari Pulau Bintan, Riau. Makyong berasal dari kesenian istana sekitar abad ke-19 sampai tahun 1930-an. Makyong dilakukan pada siang hari atau malam hari. Lama pementasan ± tiga jam.
Pertunjukan makyong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang sederhana. Permainan makyong terdiri ± atas lima orang, baik laki-laki maupun perempuan dan seorang pencerita yang disebut Awang. Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang.
Pertunjukan makyong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak. Makyong di kepulauan Riau dibawakan penari dengan memakai topeng, berbeda dengan di Malaysia yang tanpa topeng. Maka, pertunjukan makyong di Indonesia sering disebut sendratari topeng. Cerita dalam pertunjukan makyong diambil dari cerita-cerita Hikayat Melayu.

C. Drama Gong
Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur teater modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali). Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut "drama klasik". Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar).
Drama Gong adalah sebuah drama yang pada umumnya menampilkan lakon-lakon yang bersumber pada cerita-cerita romantis seperti cerita Panji (Malat), cerita Sampik Ingtai dan kisah sejenis lainnya termasuk yang berasal dari luar lingkungan budaya Bali. Dalam membawakan lakon ini, para pemain Drama Gong tidak menari melainkan berakting secara realistis dengan dialog-dialog verbal yang berbahasa Bali.
Para pemain mengenakan busana tradisional Bali, sesuai dengan tingkat status sosial dari peran yang dibawakan dan setiap gerak pemain, begitu pula perubahan suasana dramatik dalam lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan Gong Kebyar. Masyarakat Bali mementaskan Drama Gong untuk keperluan yang kaitannya dengan upacara adat dan agama maupun kepentingan kegiatan sosial. Walaupun demikian, Drama Gong termasuk kesenian sekuler yang dapat dipentaskan di mana dan kapan saja sesuai dengan keperluan. Kesenian Drama Gong inilah yang memulai tradisi pertunjukan "berkarcis" di Bali karena sebelumnya pertunjukan kesenian bagi masyarakat setempat tidak pernah berbentuk komersial. Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun1970. Namun semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah sekaa Drama Gong yang masih aktif.

D. Randai
Randai adalah kesenian (teater) khas masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat yang dimainkan oleh beberapa orang (berkelompok atau beregu). Randai dapat diartikan sebagai “bersenang-senang sambil membentuk lingkaran” karena memang pemainnya berdiri dalam sebuah lingkaran besar bergaris tengah yang panjangnya lima sampai delapan meter. Cerita dalam randai, selalu mengangkat cerita rakyat Minangkabau, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Konon kabarnya, randai pertama kali dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Padang Panjang, ketika mereka berhasil menangkaprusa yang keluar dari laut.
Biasanya randai dimainkan pada perayaan pesta, seperti: pernikahan, pengangkatan penghulu atau pada hari besar tertentu. Bahkan, pemerintah Sumatera Barat mengemas kesenian randai sebagai salah satu “icon” daerah untuk menarik para wisatawan datang berkunjung ke Sumatera Barat.
Kesenian randai sudah dipentaskan di beberapa tempat di Indonesia dan bahkan dunia. Bahkan randai dalam versi bahasa Inggris sudah pernah dipentaskan oleh sekelompok mahasiswa di University of Hawaii, Amerika Serikat.
Kesenian randai yang kaya dengan nilai etika dan estetika adat Minangkabau ini, merupakan hasil penggabungan dari beberapa macam seni, seperti: drama (teater), seni musik, tari dan pencak silat.
Dalam sebuah randai, ada beberapa pemain pendukung, di antaranya: pemain galombang, yang melakukan gerak-gerak gelombang yang bersumber dari bunga-bunga silat; pembawa alur cerita, pemain ini akan berbicara secara lantang menyampaikan narasi demi narasi yang menjadi ruh cerita randai; pemain musik/dendang, merekalah yang akan memainkan talempong, gendang, serunai, saluang, puput batang padi, bansi, rabab dan lainnya; pemain pasambahan, bertugas berbicara atau berdialog dalam petatah-petitih Minangkabau. Pemain ini akan memberi bobot dan pesan moral lewat kiasan yang ia sampaikan; dan pemain silat yang tampil ketika ada alur cerita menghendaki perkelahian.

E. Mamanda
Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.
Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda.
Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama "Mamanda".
Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni lakon Mamanda rutin menghiasi layar kaca sebelum hadirnya saluran televisi swasta yang turut menyaingi acara televisi lokal. Tak heran kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi lebih segar tanpa ada naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap dikedepankan. Disini Mamanda dapat dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti ceritanya saja

F. Longser
Longser merupakan salah satu bentuk teater tradisional masyarakat sunda, Jawa barat. Longser berasal dari akronim kata melong (melihat dengan kekaguman) dan saredet (tergugah) yang artinya barang siapa yang melihat pertunjukan longser, maka hatinya akan tergugah. Longser yang penekanannya pada tarian disebut ogel atau doger. Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat bentuk teater tradisional yang disebut lengger.
Busana yang dipakai untuk kesenian ini sederhana tapi mencolok dari segi warnanya terutama busana yang dipakai oleh ronggeng. Biasanya seorang ronggeng memakai kebaya dan kain samping batik. Sementara, untuk lelaki memakai baju kampret dengan celana sontog dan ikat kepala.

G. Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak.
Kata ‘kethoprak’ berasal dari nama alat yaitu Tiprak. Kata Tiprak ini bermula dari prak. Karena bunyi tiprak adalah prak, prak, prak. Serat Pustaka Raja Purwa jilid II tulisan pujangga R. Ng. Rangga Warsita dalam bukunya Kolfbunning tahun 1923 menyatakan “… Tetabuhan ingkang nama kethoprak tegesipun kothekan”
ini berarti kethoprak berasal dari bunyi prak, walaupun awalnya bermula dari alat bernama tiprak.
Kethoprak juga berasal dari kothekan atau gejogan. Alat bunyi-bunyian yang berupa lesung oleh pencipta kethoprak ditambah kendang dan seruling.
Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Awalnya kethoprak dalam permainannya, selain juga menari, semuanya diberi bingkai yang sederhana, misalnya seorang istri mengirim makanan dan minuman untuk suaminya yang sedang bekerja disawah, gadis desa yang beramai-ramai menuai padi, dan sebagainya. Semuanya gerak diekspresikan melalui tari yang sangat sederhana. Dalam sebuah artikel menyatakan bahwa Semula kethoprak merupakan hiburan rakyat yang diciptakan oleh seseorang di luar kerajaan. Mereka menyiapkan panggung dan berlagak menjadi raja, pejuang, pangeran, putri, dan siapapun yang mereka inginkan. Pada perkembangannya, hiburan kethoprak juga dinikmati oleh anggota kerajaan. Dan di setiap penampilannya selalu ada pelawak yang membuat kethoprak terasa semakin hidup
Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
- Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
- Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
- Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kethoprak adalah seni pertunjukan teater atau drama yang sederhana yang meliputi unsur tradisi jawa, baik struktur lakon, dialog, busana rias, maupun bunyi-bunyian musik tradisional yang dipertunjukan oleh rakyat.

H. Ludruk
Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari (cerita wong cilik), cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski kadang-kadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum, dll).
Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerankan "Pak Sakera", seorang jagoan Madura.

I. Lenong
Lenong adalah seni pertunjukan teater tradisional masyarakat Betawi, Jakarta. Lenong berasal dari nama salah seorang Saudagar China yang bernama Lien Ong, konon, dahulu Lien Ong lah yang sering memanggil dan menggelar pertunjukan teater yang kini disebut Lenong untuk menghibur masyarakat dan khususnya dirinya beserta keluarganya. Pada zaman dahulu (zaman penjajahan), lenong biasa dimainkan oleh masyarakat sebagai bentuk apresiasi penentangan terhadap tirani penjajah.
Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam. Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong dene.

J. Ubrug
Kata Ubrug memang bagi sebagian orang sangat asing ditelinga. Ubrug di Pandeglang dikenal sebagai kesenian tradisional rakyat yang semakin hari semakin dilupakan oleh penggemarnya. Istilah ‘ubrug’ berasal dari bahasa Sunda ‘sagebrugan’ yang berarti campur aduk dalam satu lokasi. Ini memang menggambarkan unsur-unsur kesenian yang memasyarakat. Pertunjukan ubrug sederhana dan bisa dilakukan di mana saja, bahkan tak jarang seniman ubrug bisa pentas tanpa dekorasi dan panggung. Mereka bisa pentas di tanah lapang dengan arena pertunjukan berbentuk tapal kuda, penonton mengelilingi tempat permainan. sehingga penonton bisa menyaksikannya dari berbagi sudut. Kedekatan antara pemain dengan penonton ini memungkinkan pertunjukkan menjadi semakin menarik dan terlihat memasyarakat.
Kesenian ubrug termasuk teater rakyat yang memadukan unsur lakon, musik, tari, dan pencak silat. Semua unsur itu dipentaskan secara komedi. Di masa lalu, ubrug biasanya pentas pada acara hajatan. Mereka dipanggil oleh orang yang punya hajat dan dibayar untuk pertunjukkan yang dilakukan. Sedangkan para penonton tidak dipungut bayaran. Bahasa yang digunakan dalam pementasan, terkadang penggabungan dari bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu (Betawi). Alat musik yang biasa dimainkan dalam pemenetasan adalah gendang, kulanter, kempul, gong angkeb, rebab, kenong, kecrek, dan ketuk.
Seperti umumnya bentuk kesenian, ubrug juga memiliki fungsi estetik dan sosial. Kesenian yang hingga kini masih ada di sejumlah daerah di Banten ini, masih tetap menjadi sarana hiburan bagi sebagian masyarakat. Dengan gaya komedinya, baik pada dialog dan akting, para seniman ubrug bersaing menghibur masyarakat di tengah gempuran segala seni modern. Sementara secara sosial, ubrug merupakan potret pemersatu masyarakat. Selain itu, lakon-lakon yang dipertunjukkan dalam ubrug juga bisa menjadi sarana penyampai pesan-pesan bijak sesuai dengan kejadian yang ada di masyarakat.
Selain berkembang di provinsi Banten, kesenian Ubrug pun berkembang sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan yang tentunya dipentaskan menggunakan bahasa daerah masing-masing.
Dalam pementasan kesenian Ubrug, kesenian ini ditampilkan secara bertahap. Awalnya sebelum kesenian ini dimulai alat musik perkusi atau Tatalu akan ditabuh sedemikian rupa agar acara pertunjukan terdengar lebih semarak. Tatalu ini ditabuh selama kurang lebih 10 hingga 15 menit. Kemudian dilanjutkan dengan masuknya beberapa wanita ke panggung untuk menyanyi lagu-lagu khas Banten.
Selanjutnya para pelawak pria yang nantinya akan pentas masuk dan menari dengan para wanita tadi. Setelah mereka menari, lalu dimulailah lakon atau cerita dalam teater rakyat ini. Biasanya cerita-cerita yang dipentaskan dalam teater Ubrug berupa cerita rakyat, dongeng atau cerita sejarah.
Beberapa cerita yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak atau Si Jampang, pahlawan rakyat Banten. Gaya penyajian ceritanya dilakukan seperti pada teater rakyat, menggunakan gaya humor atau banyolan, dan sangat karikatural sehingga selalu dapat mencuri perhatian para penonton.
Dan teater ini akan berakhir ketika para penari wanita masuk ke panggung dan menari dan kemudian disambut dengan para pemain teater yang memakaikan kain, baju, topi ke tubuh para penari. Kemudian para penari tersebut terus menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya.
Untuk memeriahkan dan mengiringi pementasan teater Ubrug ada beberapa alat musik tradisional Banten yang digunakan seperti gendang besar, gendang kecil, gong kecil, bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Semua alat musik ini dimainkan seiring dengan pementaan Teater Ubrug yang pada awalnya dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda daun kelapa atau rubia.
Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.

Sumber:
- http://andhikapal.blogspot.com/2011/04/pengertian-wayang-i.html
- http://chikuhooku.blogspot.com/2009/04/sejarah-ketoprak.html
- http://gambang.wordpress.com/2008/02/28/lenong-betawi/
- http://id.shvoong.com/humanities/arts/2123867-ubrug/#ixzz1StrsMMWz
- http://id.voi.co.id/fitur/voi-pesona-indonesia/8469-kesenian-ubrug.html
- http://id.wikipedia.org/
- http://mamamel.multiply.com/reviews/item/1
- http://qizinklaziva.wordpress.com/2007/07/25/ubrug-dari-hiburan-hingga-penyampai-pesan/
- http://sekolahdi.blogspot.com/2009/07/ketoprak.html
- http://wisatamelayu.com/favicon.ico
- http://www.babadbali.com/ext/lontar.ico
- http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Lenong
- Kartono, Ario, dkk. (2007). Kreasi Seni Budaya. Semarang: Exact Ganeca.
- Tim Widya Gamma. (2010). Seni Budaya dan Ketrampilan. Bandung: Yrama Widya.

Jumat, 22 Juli 2011

Mengenal Seni Teater

Sejarah panjang seni teater dipercayai keberadaannya sejak manusia mulai melakukan interaksi satu sama lain. Interaksi itu juga berlangsung bersamaan dengan tafsiran-tafsiran terhadap alam semesta. Dengan demikian, pemaknaan-pemaknaan teater tidak jauh berada dalam hubungan interaksi dan tafsiran-tafsiran antara manusia dan alam semesta. Selain itu, sejarah seni teater pun diyakini berasal dari usaha-usaha perburuan manusia primitif dalam mempertahankan kehidupan mereka. Pada perburuan ini, mereka menirukan perilaku binatang buruannya. Setelah selesai melakukan perburuan, mereka mengadakan ritual atau upacara-upacara sebagai bentuk “rasa syukur” mereka, dan “penghormatan” terhadap Sang Pencipta semesta. Ada juga yang menyebutkan sejarah teater dimulai dari Mesir pada 4000 SM dengan upacara pemujaan dewa Dionisus. Tata cara upacara ini kemudian dibakukan serta difestivalkan pada suatu tempat untuk dipertunjukkan serta dihadiri oleh manusia yang lain.
Teater selalu berhubungan dengan tempat pertunjukan atau tempat tontonan. Seni Teater adalah seni yang kompleks, artinya dapat bekerjasama dengan cabang seni lainnya. Seni teater merupakan sebuah kesenian yang paling lengkap, karena di dalamnya tergabung beberapa cabang seni lainnya, seperti seni rupa, seni sastra, seni musik, dan seni tari.
Teater merupakan karya seni yang dapat memberi sumbangan bagi keluhuran budi dan kematangan jiwa. Agar dapat berhasil dalam menikmati suatu karya teater, tingkat apresiasi yang tinggi sangat diperlukan sehingga benar-benar dapat merasakan bahwa teater sebagai tontonan juga sebagai tuntunan. Untuk mengapresiasikan suatu karya seni, khususnya seni teater memerlukan kesungguhan dan konsentrasi penuh. Oleh karena itu, sebagai penikmat perlu mempersiapkan dengan matang.

A. Awal Mula, Sejarah, dan Pengertian Seni Teater
Teater berasal dari kata Yunani kuno, “theatron” Seeing Place yang artinya tempat menyaksikan (seeing place)atau gedung pertunjukan adalah nama tempat untuk mengadakan pesta dan persembahan para dewa. Teater merupakan pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh penonton. Seni teater merupakan seni yang menggabungkan banyak unsur, antara lain unsur-unsur audio, visual, dan kinestetik (gerak) yang meliputi bunyi, suara, musik, gerak serta seni rupa.
Istilah teater dalam bahasa Inggris ‘theatre’ mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok yang melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri.
Teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno, Draomai yang berarti bertindak atau berbuat dan ‘drame’ yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah atau dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika.
Kata drama juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata teater dan drama bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra.
Terlepas dari sejarah dan asal kata yang melatarbelakanginya, seni teater merupakan suatu karya seni yang rumit dan kompleks, sehingga sering disebut dengan collective art atau synthetic art artinya teater merupakan sintesa dari berbagai disiplin seni yang melibatkan berbagai macam keahlian dan keterampilan.
Jadi, secara sederhana teater dapat didefinisikan sebagai sebuah potret kehidupan manusia yang diangkat dan dipertunjukkan di atas pentas di depan penonton.

B. Fungsi Seni Teater
Teater memiliki fungsi dan peranan di dalam masyarakat. Di dalam seni teater terdapat hubungan yang erat antara seniman dengan masyarakat publik dan sebagai wadah cerminan budaya masyarakat setempat. Selain sebagai hiburan, seni teater memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Media Ekspresi
Ekspresi bentuk gerakan dan ucapan.
2. Media Pendidikan
Teater adalah seni kolektif, dikerjakan oleh banyak orang. Melalui teater, orang diajak untuk berorganisasi dan bekerja sama. Jika dipentaskan, teater memberikan pesan kepada penonton tentang kebaikan dan kejahatan.
3. Keperluan Upacara
Di dalam kebudayaan tradisional, sering kali di dalam upacara keagamaan menggunakan sarana teater sebagai bagian dari upacara.
4. Kontrol terhadap perilaku
Teater sebagai media untuk mengontrol perkembangan sistem sosial di dalam suatu masyarakat.
5. Kritik
Teater dapat digunakan untuk mengkritik suatu hal misal pemerintah ataupun sistem sosial yang berlaku di dalam masyarakat.

C. Nilai-nilai yang Terkandung dalam Seni Teater
Seni teater mengandung pesan moral atau nilai-nilai yang terkandung di dalam ceritanya. Adapun nilai yang terkandung di dalam seni teater adalah:
1. Nilai Didik
Pelajaran dalam pementasan yang mengajarkan untuk mengetahui sesuatu (pesan cerita).
2. Nilai Sejarah
Nilai yang menuntun penonton untuk mengenali dan mengetahui sejarah atau kejadian masa lalu.
3. Nilai Budaya
Perilaku dramatis yang menggambarkan adat istiadat, perilaku, dan kebiasaan-kebiasaan hidup manusia di suatu daerah.
4. Nilai Religius
Gambaran tentang kehidupan beragama yang erat hubungannya dengan peningkatan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber:
- http://www.psb-psma.org/content/blog/seni-teater
- http://komkepsurabaya.wordpress.com/2009/05/10/teater-rakyat-dan-kesadaran-
politik-rakyat/
- Kartono, Ario, dkk. (2007). Kreasi Seni Budaya. Semarang: Ganeca Exact.
- Margono dkk. (2006). Seni Rupa dan Seni Teater. Jakarta: Yudhistira.
- RM, Yoyok & Siswandi. (2007). Seni Budaya. Jakarta: Yudhistira.

Kamis, 21 Juli 2011

Memahami Dunia Seni

Di dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui gedung yang megah dan menjulang tinggi, busana yang bermacam bentuk dan warna, lagu dari berbagai aliran, acara televisi non stop 24 jam yang menyuguhkan acara menarik, ornamen rumah, dan lain sebagainya. Pernahkah kita menyadari semua hal tersebut? Bagaimana dibuat? Untuk apa dibuat? Banyak di antara kita kurang peduli pada keberadaan hal-hal tersebut di atas.
Semua karya yang ada di dalam kehidupan ini dibuat oleh manusia dan atas dasar kebutuhan manusia. Semua hal tersebut dirancang dengan mempertimbangkan nilai-nilai keindahan. Tentu saja, karena selain memiliki akal, manusia juga memiliki perasaan dan cita rasa yang tinggi. Adanya cita rasa menunjukkan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki ‘jiwa seni’. Akan tetapi tidak semua orang dapat mengungkapkannya, melainkan setiap pribadi memiliki ‘daya apresiasi’ terhadap keindahan dari objek seni. Objek ciptaan manusia bermanfaat untuk kehidupan dan disentuh oleh keindahan kerap disebut sebagai karya seni budaya.

A. Pengertian Seni
Seni adalah ciptaan manusia dan selalu ada dalam segala lapisan masyarakat sejak zaman prasejarah sampai sekarang. Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni juga dapat diartikan dengan sesuatu yang diciptakan manusia yang mengandung unsur keindahan.
Dalam bahasa Sanskerta, kata seni disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam kekriaan yang artistik. Cilpacastra yang banyak disebut-sebut dalam pelajaran sejarah kesenian, adalah buku atau pedoman bagi para cilpin, yaitu tukang, termasuk di dalamnya apa yang sekarang disebut seniman
Dalam bahasa Latin pada abad pertengahan, ada terdapat istilah-istilah ars, artes, dan artista. Ars adalah teknik atau craftsmanship, yaitu ketangkasan dan kemahiran dalam mengerjakan sesuatu; adapun artes berarti kelompok orang-orang yang memiliki ketangkasan atau kemahiran; dan artista adalah anggota yang ada di dalam kelompok-kelompok itu. Maka kiranya artista dapat dipersamakan dengan cilpa
Ars inilah yang kemudian berkembang menjadi l'arte (Italia), l'art (Perancis), elarte (Spanyol), dan art (Inggris), dan bersamaan dengan itu isinyapun berkembangan sedikit demi sedikit kearah pengertiannya yang sekarang.
Plato, Lessing, dan JJ Reusseau berpendapat bahwa seni pada hakikatnya adalah peniruan alam dengan segala segi-seginya. Seni yang dihasilkan tentu saja sifatnya naturalistis, artinya ketepatan bentuk alam sangat diutamakan dalam penciptaannya. Aristoteles murid Plato menambahkan bahwa peniruan terhadap alam itu harus ideal, maksudnya di dalam menciptakan seni yang berpijak pada bentuk alam hasil seninya lebih indah daripada yang ditiru.
Dari berbagai pengertian seni, secara umum seni diartikan sebagai karya manusia yang diciptakan dan dilandasi kemahiran untuk menciptakan keindahan.

B. Tujuan Penciptaan Seni
Seperti halnya ilmu pengetahuan yang lain, tujuan karya seni dibuat oleh penciptanya amatlah banyak. Meskipun tujuannya amat beragam tetapi hakikat dari proses kreasi tersebut adalah terciptanya nilai-nilai kebaruan. Tujuan penciptaan seni adalah:
1. Ekspresi Pribadi
Ungkapan emosional terdalam diwujudkan dalam berbagai wujud seni.
2. Aktualisasi Diri
Upaya untuk membangun eksistensi pribadi melalui ungkapan estetis.
3. Pembaharuan Nilai Keindahan
Upaya kreatif untuk menciptakan hal-hal baru dalam seni.
4. Objek Ekonomi
Penciptaan karya seni yang sejalan dengan selera masyarakat untuk alasan perdagangan, galeri lelang, aset kekayaan, maupun peningkatan nilai ekonomis.
5. Rekaman Peristiwa
Merekam suatu peristiwa tertentu yang menyentuh dan bermakna.
6. Alat Komunikasi
Upaya membangun berbagai gagasan atau imajinasi seniman sehingga dapat dipahami oleh masyarakat penikmatnya.
7. Terapi Kejiwaan
Pengayaan jiwa seniman maupun penikmatnya sehingga memperoleh ketenangan, hiburan, pelampiasan, maupun penyehatan rohani.
8. Perluasan Wacana
Meningkatkan apresiasi masyarakat sehingga memperoleh pengalaman baru dalam mengamati karya seni tersebut.
9. Keagamaan
Seni sebagai media penyampaian ajaran agama, pendukung upacara keagamaan, ataupun sebagai proses pemujaan kepada sang khalik (sang maha pencipta).
10. Politik
Sebagai alat pendukung kampanye dan propaganda ideologi politik tertentu.

Singkatnya, secara umum seni bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan zamannya sehingga memiliki arti penting bagi generasi berikutnya.
Selain memiliki tujuan tersebut, kadangkala seni juga digunakan untuk tujuan negatif seperti: penyebarluasan pornografi, pornoaksi, pelecehan, fitnah, atupun penipuan.

C. Fungsi Seni
Fungsi karya seni sangatlah beragam. Bahkan sebuah karya seni dapat memiliki beberapa fungsi sekaligus.
1. Penggalian nilai keindahan, sehingga mampu merangsang masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
2. Pembelajaran masyarakat. Seni sebagai proses pembelajaran masyarakat terhadap segala sesuatu baik nilai maupun fenomena alam.
3. Penyadaran sosial-budaya. Penyadaran terhadap suatu peristiwa baik sejarah, sosial, budaya maupun lainnya.
4. Pemaknaan. Mengangkat kehidupan masyarakat ke arah yang lebih bermakna.
5. Pemberdayaan sosial. Seni mampu mengisi dan mempengaruhi zamannya.
6. Pembudayaan dan dokumen sejarah.
7. Pemanusiaan teknologi dan peningkatan kualitas hidup manusia.
8. Penyampaian ajaran agama.
9. Penjaga nilai. Seni sebagai penjaga norma dan nilai keindahan dalam kehidupan masyarakat.

D. Unsur Nilai
Seni mengandung nilai-nilai luhur yang membangun jiwa anak bangsa hingga lebih berkualitas.
1. Nilai Kebenaran
Nilai kebenaran seni terletak pada kejujuran pengungkapan.
2. Nilai Kebudian
Nilai kebudian seni terletak dalam kepekaan dan kehalusan pengungkapan sehingga segala sesuatu yang bersifat baik, arif, berjiwa lihur, dan sebagainya dapat ditampilkan dalam media baik secara tersirat maupun tersurat.
3. Nilai Keindahan
Nilai keindahan seni terletak pada pengungkapan ekspresif-intuitif segala yang berkaitan dengan rasa estetis melaui teknik, bahan, dan konsep yang mampu menciptakan kebaruan, rasa haru, ataupun ketertiban lingkungan.


Sumber:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Seni
- http://members.fortunecity.com/senirupa/senirupa/id1.html
- Sachari, Agus. (2007). Seni Rupa dan Desain. Bandung: Erlangga.
- Kartono, Ario, dkk. (2007). Kreasi Seni Budaya. Semarang: Ganeca Exact

Aku adalah aku

Foto saya
bantul, yogyakarta, Indonesia
Seorang manusia biasa yang mencoba bersuara pada dunia tentang Kedamaian.