Jumat, 31 Agustus 2012

Puisi-puisi


EPISODE MERDEKA
Karya : Muhammad Ansori

Masih saja kau hitungi deru waktu.
Detak-detak yang hening pada dahi
tlah kau tandai dengan kecut darah.
Aku berdiam pada fragmen abad, menatap
kesucian yang menggeletak di lantai pertiwi
sambil mengaji baris kata yang
kau bujuri bersama tanah dan tubuh;
                Merdeka!!!

Detak-detak tlah hening pada dahimu
Namun masih saja kau hitungi deru waktu
Tentang abad-abad perang, miskinnya selubung tubuh.
Getir jiwa, lepuh, dan merdeka yang
Tak sampai-sampai menghampiri dada.
Lihatlah! Aku, anakmu akan bangkit satu-satu
Membawa tubuh dengan arak-arakan nurani.

Bagai laba-laba, akan kami jarring dendam
dari luka nanah yang tlah mereka toreh:
Kalau racun biarlah beracun
Kalau duri biarlah perih
Kami akan hidup dari hatimu

Lihatlah! Anakmu tlah bangkit berdiri
Dari mati kami kembali
                                                                                                          Jambi, Agustus 1999



ELEGI
Karya : D. Zawawi Imron

Indonesia! Karena aku lahir dipangkuanmu,
Aku adalah anakmu.
Aku kini membaca redup wajahmu
Segumpal mendung menutup dahimu
Air matamu mengalir seperti sungai panjang
Menggali luka dalam diriku

Dan burung-burung gelatik yang cantik terbang
Di atas sawah yang luas
Suaranya mencicit
Menampung nafas-nafas yang letih.
Itupun berbaur dengan teriak gagak yang mengabarkan
Bangkai anak-anak yang tak bersalah

Kelelawar-kelelawar hitam simpang siur di udara,
Memekik-mekik
Karena diusir cerobang-cerobong perkasa.
Kalau mereka lari ke hutan,
Hutan pun sedang terbakar, Tuhan!
Ampunilah kami, karena
Kami masih tersesat walau di jalan terang.

“Adik-adik kecil yang manis!
Jangan mandi di situ, air sungai itu bercampur limbah,
Nanti kalau kamu dewasa kulitmu tidak sempurna
Sebagai anak Indonesia. Aku tak ingin, kamu jadi
Orang asing di atas tanah kelahiranmu sendiri.”

Aku terkenang sebuah taman pahlawan
Gundukan-gundukan tanah
Yang diguguri bunga kamboja. Aku yakin, jasad-jasad
Yang jadi tulang-belulang itu lebih wangi dari bunga
Merekalah yang 50 tahun yang lalu tersungkur sambil
Berteriak “Merdeka”
Dan merdekalah tumpah darah kami.

Inilah tanah yang buncah ombaknya
Tak kunjung usai menyebut nama Tuhan
Pohon-pohon, dan sungai, dan kerikil, dan kuda-kuda
Yang menderap, serta angina malam yang lembut
Siap menerjemahkan suara nurani
Dan menjahit kain sarung yang compang-camping

Apa pun yang akan terjadi,
Indonesia, aku tetap anak-anakmu
Pemilik daratan hijau dan gunung batu
Di atas cadik yang memanjat
Gelombang kami tetap bernyanyi
Agar matahari besok lebih cemerlang lagi
Maka, di ceruk lembah itu akan kami gali sebuah sumur,
Dan semua orang silahkan meneguk
Sejuknya nuraninya sendiri di situ
Dan bendera itu biar semakin damai berkibar
Dikipas rahmat Tuhan
Dan syukur kami yang tak kunjung henti

                                                                                                  1995
                                                                        (dikutip dari Serpihan Sajak: “Jalan Hati Jalan Samudra”)





SURAT UNTUK AMELIA
Karya : Iyut Fitra

suratku yang terakhir untukmu, amelia, bacalah
sebelum negeri ini terpanggang, menjadi abu yang masai
di sini taka da rimbun daun bambu, pokok cemara, atau setiup angin desir
seperti dadaku kering
hutan-hutan itu dikalahkan kerakusan. irama lading mati atau
lenguh lahan sunyi
hanya gemerisik dari lelalang mersik. irama lembah tinggal kisah
selebihnya rinduku padamu
tak sampai
bila jiwamu bergetar. karena baris-barisku mengiris ngilu di nadimu
datanglah ke tandus bukit cinta pernah bertemu

tak perlu menangis, amelia, bila perih tak bisa kau usir
karena burung-burung kerubung mencari sangkar. dahan-dahan telah rengkah
kubisikkan padamu mimpi kita
di tepi sungai itu, bila perkawinan tak jadi kita langsungkan
wariskan pada anak-anak kelak, “bahwa di negeri ini kita pernah menanam cinta!”
lalu senyum alirkanlah dari hulu ke muara
hanyutkan bibir mungilmu yang dusun agar mereka mengerti tentang musim

atau bila surat terakhirku tak pernah kau baca, amelia
karena negeri ini telah terpanggang
bernyanyilah di setiap senja. di langit kelabu itu kutulis
sepenggal sejarah
di sini, kedamaian telah dijarah!

Payakumbuh 2006
(dikutip dari: Anugerah Sastra Pena Kencana “100 Puisi Indonesia Terbaik 2008”)

Puisi-puisi


EPISODE MERDEKA
Karya : Muhammad Ansori

Masih saja kau hitungi deru waktu.
Detak-detak yang hening pada dahi
tlah kau tandai dengan kecut darah.
Aku berdiam pada fragmen abad, menatap
kesucian yang menggeletak di lantai pertiwi
sambil mengaji baris kata yang
kau bujuri bersama tanah dan tubuh;
                Merdeka!!!

Detak-detak tlah hening pada dahimu
Namun masih saja kau hitungi deru waktu
Tentang abad-abad perang, miskinnya selubung tubuh.
Getir jiwa, lepuh, dan merdeka yang
Tak sampai-sampai menghampiri dada.
Lihatlah! Aku, anakmu akan bangkit satu-satu
Membawa tubuh dengan arak-arakan nurani.

Bagai laba-laba, akan kami jarring dendam
dari luka nanah yang tlah mereka toreh:
Kalau racun biarlah beracun
Kalau duri biarlah perih
Kami akan hidup dari hatimu

Lihatlah! Anakmu tlah bangkit berdiri
Dari mati kami kembali
                                                                                                          Jambi, Agustus 1999



ELEGI
Karya : D. Zawawi Imron

Indonesia! Karena aku lahir dipangkuanmu,
Aku adalah anakmu.
Aku kini membaca redup wajahmu
Segumpal mendung menutup dahimu
Air matamu mengalir seperti sungai panjang
Menggali luka dalam diriku

Dan burung-burung gelatik yang cantik terbang
Di atas sawah yang luas
Suaranya mencicit
Menampung nafas-nafas yang letih.
Itupun berbaur dengan teriak gagak yang mengabarkan
Bangkai anak-anak yang tak bersalah

Kelelawar-kelelawar hitam simpang siur di udara,
Memekik-mekik
Karena diusir cerobang-cerobong perkasa.
Kalau mereka lari ke hutan,
Hutan pun sedang terbakar, Tuhan!
Ampunilah kami, karena
Kami masih tersesat walau di jalan terang.

“Adik-adik kecil yang manis!
Jangan mandi di situ, air sungai itu bercampur limbah,
Nanti kalau kamu dewasa kulitmu tidak sempurna
Sebagai anak Indonesia. Aku tak ingin, kamu jadi
Orang asing di atas tanah kelahiranmu sendiri.”

Aku terkenang sebuah taman pahlawan
Gundukan-gundukan tanah
Yang diguguri bunga kamboja. Aku yakin, jasad-jasad
Yang jadi tulang-belulang itu lebih wangi dari bunga
Merekalah yang 50 tahun yang lalu tersungkur sambil
Berteriak “Merdeka”
Dan merdekalah tumpah darah kami.

Inilah tanah yang buncah ombaknya
Tak kunjung usai menyebut nama Tuhan
Pohon-pohon, dan sungai, dan kerikil, dan kuda-kuda
Yang menderap, serta angina malam yang lembut
Siap menerjemahkan suara nurani
Dan menjahit kain sarung yang compang-camping

Apa pun yang akan terjadi,
Indonesia, aku tetap anak-anakmu
Pemilik daratan hijau dan gunung batu
Di atas cadik yang memanjat
Gelombang kami tetap bernyanyi
Agar matahari besok lebih cemerlang lagi
Maka, di ceruk lembah itu akan kami gali sebuah sumur,
Dan semua orang silahkan meneguk
Sejuknya nuraninya sendiri di situ
Dan bendera itu biar semakin damai berkibar
Dikipas rahmat Tuhan
Dan syukur kami yang tak kunjung henti

                                                                                                  1995
                                                                        (dikutip dari Serpihan Sajak: “Jalan Hati Jalan Samudra”)





SURAT UNTUK AMELIA
Karya : Iyut Fitra

suratku yang terakhir untukmu, amelia, bacalah
sebelum negeri ini terpanggang, menjadi abu yang masai
di sini taka da rimbun daun bambu, pokok cemara, atau setiup angin desir
seperti dadaku kering
hutan-hutan itu dikalahkan kerakusan. irama lading mati atau
lenguh lahan sunyi
hanya gemerisik dari lelalang mersik. irama lembah tinggal kisah
selebihnya rinduku padamu
tak sampai
bila jiwamu bergetar. karena baris-barisku mengiris ngilu di nadimu
datanglah ke tandus bukit cinta pernah bertemu

tak perlu menangis, amelia, bila perih tak bisa kau usir
karena burung-burung kerubung mencari sangkar. dahan-dahan telah rengkah
kubisikkan padamu mimpi kita
di tepi sungai itu, bila perkawinan tak jadi kita langsungkan
wariskan pada anak-anak kelak, “bahwa di negeri ini kita pernah menanam cinta!”
lalu senyum alirkanlah dari hulu ke muara
hanyutkan bibir mungilmu yang dusun agar mereka mengerti tentang musim

atau bila surat terakhirku tak pernah kau baca, amelia
karena negeri ini telah terpanggang
bernyanyilah di setiap senja. di langit kelabu itu kutulis
sepenggal sejarah
di sini, kedamaian telah dijarah!

Payakumbuh 2006
(dikutip dari: Anugerah Sastra Pena Kencana “100 Puisi Indonesia Terbaik 2008”)

Minggu, 15 Juli 2012

TEATER BALOK


A. Latar Belakang
            Berawal dari obrolan warung kopi dari sebuah angan-angan kerinduan beberapa Muda-mudi Katolik Santo Yakobus, Klodran, Bantul untuk saling berkumpul dan berproses bersama. Sebuah komunitas yang murah meriah dan dapat menyatukan Muda-mudi Katolik dari berbagai usia juga dapat merengkuh Muda-mudi Katolik yang kurang maupun belum terlibat dalam kegiatan Gerejani.
            Dari angan tersebut terlontar sebuah ide dari salah satu MUDIKA (Muda-mudi Katolik) yaitu Bernardinus Narendra Widyasmoro yang akrab dipanggil Bernard untuk membentuk suatu tampilan Teater. Ide ini pertama kali ditanggapi Matheus Nastiti Nurcahyo Wijaya yang akrab dipanggil Inung karena dulu di Paroki St. Yakobus, Bantul, Yogyakarta pernah ada komunitas Teater yang bernama Teater Oblong. Ide Teater ini akhirnya ditawarkan oleh beberapa anggota MUDIKA yang lain dan ternyata mendapat tanggapan baik dan dukungan dari beberapa pihak.

B. Tujuan
Teater selain sebagai wadah untuk berkumpul dan berproses bersama juga ternyata memiliki tujuan-tujuan tertentu setelah beberapa MUDIKA menggalinya. Teater ini dapat mengajak belajar berorganisasi dalam sebuah TIM yang dibagi menjadi dua TIM yaitu TIM PRODUKSI dan TIM PEMERAN, dari proses ini dapat menjadi sarana regenerasi (memberi ajaran tentang organisasi dan kepemimpinan bagi MUDIKA yang masih baru). Dalam Seni Teater, diajak untuk mengeluarkan karakter pribadi dengan percaya diri, dengan demikian anggota yang satu dan yang lain akan saling memahami dan saling mengenal setiap pribadi. Setelah saling mengenal diharapkan setiap anggota MUDIKA saling mendukung dan memberi semangat dalam setiap kegiatan MUDIKA (spirit bagi semua kegiatan MUDIKA yang lain).

C. Nama Teater Balok
            Setelah banyak yang mendukung dan banyak yang terlibat mulailah menggarap sebuah Teater yang memang benar-benar Teater dengan naskah yang diadaptasi dari naskah yang berjudul “Jamila dan Sang Presiden” karya Ratna Sarumpaet.
            Dari beberapa proses, beberapa orang mulai memikirkan sebuah nama untuk komunitas ini. Jadi bukan sekedar bernama Teater MUDIKA Paroki. Pada tanggal 25 Juni 2012 diadakan rapat untuk menentukan nama komunitas teater ini. Ada beberapa usulan nama untuk teater ini seperti usulan Bartholomeus Nastiti  Diyan Wijanarko (akrab dipanggil Catax) yang mengusulkan nama GUYUB yang berarti rukun. Teater RANG yang diusulkan oleh Gabriel Pipit Lina (akrab dipanggil Pipit) yang berarti terang. Teater HARMONI yang diusulkan Bernard yang berarti keselarasan. Yang terakhir Teater BALOK diusulkan Andreas Ardhana Prihatmoko (akrab dipanggil Andre, alumni MUDIKA yang sekarang berdomisili di Provinsi Jambi mengajar Seni Budaya di SMA Xaverius 1 dan 2 Jambi, diundang untuk hadir rapat karena kebetulan sedang berlibur di Yogyakarta). Dan terpilihlah nama BALOK.

1. Nama Balok
            Nama Balok sendiri sebenarnya bukan murni usulan dari Andre tatapi dari Yohanes Gatot Sis Utomo (akrab dipanggil Gatot, Ketua MUDIKA untuk Wilayah Maria Tak Bernoda-MUDIKA St. Anna). Nama ini bermula dari obrolan warkop pada Rabu malam 20 Juni 2012 di angkringan milik Tito Perwito yang saling bercanda dan meledek. Kemudian Gatot melontarkan nama Balok, kemudian anak-anak menanyakan apa artinya dan Gatot tidak tahu hanya sekedar ucapan saja. Beberapa anak di angkringan memplesetkan Balok menjadi nama panggilan seorang cewek yang menurut isu/gossip bahwa Gatot simpatik dengan cewek tersebut (plesetannya tidak perlu disebut, dan bagiteman-teman yang pada waktu ada diangkringan tidak perlu membocorkannya biarlah menjadi rahasia umum, dan yang tidak tahu tidak usah mencari tahu, biarlah menjadi kenangan tersendiri bagi Gatot …hehehe…).

2. Filosofi Nama Balok
            Nama BALOK tersebut ternyata menggelitik Andre dan ia mencoba merenungkan kata BALOK tersebut dan disarikan menjadi filosofi nama BALOK yang diungkapkan dalam rapat 25 Juni 2012, yaitu:
  • Kata BALOK memiliki kesan yang lugas, sederhana, dan dapat diingat oleh semua orang.
  • BALOK di dalam masyarakat Jawa (khususnya Jogja) adalah makanan dari singkong yang dipotong kecil-kecil dan digoreng. Hal ini memberi arti bahwa kadangkala setiap orang selalu meremehkan atau memandang sebelah mata apa yang dilakukan oleh anak muda khususnya anak muda yang jarang tampil, tetapi kalau bersatu maka akan menjadi kuat seperti balok walaupun hanya terbuat dari singkong tetapi bila makannya banyak akan memberi rasa kenyang di dalam perut.
  • BALOK dalam pelajaran matematika adalah sebuah bangun yang terdiri dari enam sisi yang berdiri tidak berdampingan tetapi berdiri sendiri-sendiri dan memiliki sudut yang membentuk balok. Mengajarkan bahwa setiap anggota teater memiliki perbedaan-perbedaan tetapi saling berhadapan untuk membentuk suatu komunitas dalam satu tujuan bersama.
  • BALOK dapat diartikan tersusun dari dua suku kata banyu lokak. Banyu (air) yang tidak penuh tetapi kurang (lokak). Mamberi arti bahwa setiap orang selalu membutuhkan air, bahwa kaum muda itu adalah air di setiap tempat yang memberi kehidupan. Lokak (kurang) mengajarkan bahwa kaum muda harus senantiasa berkembang dan belajar terus menerus untuk mencari hal yang sempurna.
  • BALOK juga dapat diartikan sebagai singkatan dari BAtalyOn Kristus. Memberi spirit bahwa komunitas ini semuanya beriman pada Kristus, dan Kristus adalah spirit bagi komunitas teater ini.

D. Penutup
            Setelah beberapa kali berproses dan ditemukan sebuah nama maka tanggal 25 Juni 2012 diputuskan dalam rapat tersebut sebagai hari lahirnya TEATER BALOK dengan pentas perdana pada tanggal 1 September 2012 dengan judul ”Jamila”. Teater Balok berharap semoga komunitas teater ini dapat berjalan terus dan sebagai wadah anggota MUDIKA untuk saling berkembang, belajar, berkumpul, dan bersilaturahmi mewujudkan MUDIKA yang kompak.     




Aku adalah aku

Foto saya
bantul, yogyakarta, Indonesia
Seorang manusia biasa yang mencoba bersuara pada dunia tentang Kedamaian.