Minggu, 15 November 2009

TELEVISI DAN PENDALAMAN IMAN: TEMAN ATAUKAH LAWAN?

A. LATAR BELAKANG
“Cepat nak belajar jangan nonton TV terus”, hardik seorang ibu kepada anaknya.
”Nanti Bu sebentar lagi, masih bagus acaranya”, jawab anaknya.

***

”Kok bisa ya Anang cerai dengan Krisdayanti, yo jeng , kata seorang ibu rumah tangga pada sesama teman ibu rumah tangga.
”Iya ya jeng padahal sudah serasi, saya jadi gak habis pik, lho itu jeng malah sekarang berita Ahmad Dani, wah gak habis-habis cerita tentang si Dani ya jeng” , jawab ibu yang lain.

***

”Bapak ini cepetan to Pak jadi nganter ibu arisan gak sich, dari tadi kok cuma ngopi sambil nonton bola aja”, marah seorang istri pada suaminya.
”Iya-iya ntar dulu to sebentar lagi arisan cuma dekat aja, apa mau gelar tikar po?”, jawab suami sekenanya.

***

Beberapa penggal fenomena yang sering terjadi di dalam keluarga dewasa ini. Televisi seolah-olah menjadi suatu hal yang sangat berharga, bahkan kalau kita mengkaji setiap peristiwa seakan seseorang tidak bisa lepas dengan televisi. Dalam sebuah kajian Pater Pierre Babin, yang dikutip Romo Iswarahadi dalam bukunya “Beriman dengan Bermedia”, mengatakan bahwa masyarakat di seluruh dunia dewasa ini begitu dipengaruhi oleh media televisi. Orang bisa kerasan di depan televisi, bahkan anak-anak muda bisa duduk di depan televisi selama empat sampai enam jam (2003:29).
Dari fenomena di atas bila dibandingkan dengan pendidikan iman atau pendalaman iman di suatu lingkungan, sangatlah berbanding terbalik. Bila ditawarkan secara terang-terangan pilih pendalaman iman atau nonton televisi, jawabannya pastilah nonton televisi. Sedangkan diketahui acara-acara televisi dewasa ini menayangkan acara yang kurang mendidik. Jam-jam di mana waktu luang untuk sebuah keluarga (jam 16.00 – 20.00 WIB), kebanyakan stasiun televisi menayangkan sinetron, yang isinya tidak jauh dari dendam, perebutan cinta, perebutan warisan, perebutan perusahaan, dan perkelahian serta tayangan yang berbau tahayul, yang hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Sedangkan manusia cenderung memiliki sifat meniru apa yang dilihat. Mulai dari kanak-kanak, seseorang meniru cara bicara, berpakaian, bertingkahlaku dari orang-orang di sekitarnya, terlebih meniru orang tua (Dick Hartoko, 1984:22). Melihat kenyataan tersebut bahwa manusia memiliki kecenderungan meniru dan dikonfrontasikan dengan keadaan sekarang bahwa manusia ‘membatasi’ diri dalam bersosial dengan benda yang disebut televisi, yang menjadi sebuah pertanyaan refleksi adalah “Televisi dan Pendalaman Iman: teman ataukah lawan?”.

B. TELEVISI: TUJUAN DAN FUNGSINYA
Televisi menurut Atang Syamsudin televisi terdiri dari kata tele, dari kata yunani yang berarti jauh dan vision dari bahasa latin yang artinya melihat. Jadi secara harafiah artinya melihat jauh. Sedangkan menurut Effendy yang dikutip dari http://digilib.petra.ac.id/ads-cgi/viewer.pl/jiunkpe/s1/ikom/2009/jiunkpe-ns-s1-2009-51401075-5269-yamaha_mio-chapter2.pdf, mengartikan televisi adalah media komunikasi jarak jauh dengan penayangan gambar dan pendengaran suara, baik melalui kawat atau secara elektromagnetik tanpa kawat.
Sesuai dengan UU Penyiaran Nomor 24 tahun 2007, Bab II pasal 4, penyiaran bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masyarakat adil dan makmur. Dari UU tersebut pula pada Bab II pasal 5 penyiaran mempunyai fungsi sebagai media informasi dan penerangan, pendidikan dan hiburan, yang memperkuat ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan.
Tujuan dan fungsi media di atas selaras dengan Ajaran Gereja yang terkandung di dalam Dekrit tentang upaya-upaya komunikasi sosial (Inter Mirifica) art. 9, bahwa Gereja memberikan dukungan terhadap informasi yang disiarkan oleh media yang menampilkan nilai keutamakan, ilmu pengetahuan dan kesenian.
Melihat tujuan dan fungsi televisi yang dipaparkan di atas, televisi dapat memberikan sumbangan yang baik apabila tujuan tersebut terlaksana dan penyiaran televisi benar-benar difungsikan dengan baik, karena sebagai media televisi mampu memberikan sugesti kepada pemirsanya, secara langsung melalui program acaranya, dan secara tidak langsung melalui iklan-iklannya, atau dengan kalimat lain yang dikutip dari buku Beriman dengan Bermedia bahwa zaman televisiadalah zaman yang penuh pesona (Iswarahadi, 2003:29).

C. MANFAAT DAN KERUGIAN TELEVISI
Acara-acara yang ditayangkan di dalam televisi memiliki manfaat dan kerugian. Dr. A. Mansur mengemukakan manfaat dari tayangan televisi memberikan pengaruh positif dengan adanya program televisi yang bernafaskan keagamaan seperti penyejuk iman katolik, mimbar agama katolik dan adanya acara atau tayangan yang bernuansakan pendidikan atau pengetahuan seperti berita. Tetapi menurut Mansur pula televisi justru memberikan banyak pengaruh negatif, kepada pemirsanya, setelah maupun pada waktu melihat tayangan televisi, sehingga mempengaruhi pandangan para pemirsa ke arah negatif. Adapun pengaruh negatif tersebut adalah:
1. Sering menonton televisi akan melalaikan tugas dan kewajibannya bagi para pemirsanya.
2. Sering menonton televisi akan mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar murid.
3. Anak-anak cenderung lebih menyukai tayangan yang bernuansakan kekerasan.
4. Setelah menonton televisi mereka suka meniru apa yang telah mereka tonton.

Kalau membaca uraian Mansur tersebut dan kenyataan acara-acara televisi perlu suatu kesadaran dari dalam diri untuk memilih acara televisi yang benar-benar baik untuk perkembangan diri. Dan bagi anak-anak perlulah orang tua benar-benar memantau anak-anaknya setiap menonton televisi.
D. TELEVISI DAN PENDALAMAN IMAN
Kalau kita amati dalam siaran televisi dalam satu minggu. Hampir setiap televisi menyiarkan acara bernafaskan keagamaan satu kali dalam seminggu. Dan penyiaran tersebut ditayangkan tidak pada jam-jam seseorang memiliki waktu senggang saat menonton. Dengan demikian jawaban dari pertanyaan dari awal tulisan ini bahawa televisi dan pendalaman iman teman ataukah lawan dapat dijawab sesuai dengan keadaan setiap pribadi dalam menyikapinya. Tetapi pendalaman iman dapat belajar dari televisi.
Banyak hal yang dapat dipelajari dari televisi, agar pendalaman iman dalam suatu lingkungan menarik. Hal yang dapat dipelajari adalah bahasa. Televisi memiliki bahasa simbol. Berbeda dengan pendalaman iman di lingkungan, katekis seringkali di dalam pendalaman iman (katekese) banyak mengajar saat kotbah. Bahasa simbol bukan mengajar, tetapi bahasa yang membujuk Kekayaan bahasa televisi ini perlu mendapat perhatian kalau kita mau menawarkan iman untuk orang zaman sekarang (Iswarahadi, 2003:31).
Robert T. O’Gorman berpendapat bahwa setiap orang beriman rindu untuk menghayati imannya di dalam hidup sehari-hari, sehingga iman menjadi lebih penting. O’Gorman juga menyebutkan Gereja, keluarga, masyarakat, dan sekolah sebagai ekologi katekese dan jemaat memiliki tempat yang sentral di dalam berkatekese.
Televisi menjadi dekat dengan pemirsanya karena televisi menayangkan masalah yang ada di dalam masyarakat. Untuk itu katekese yang relevan adalah katekese yang melibatkan diri dalam masalah masyarakat. Kalau katekese hanya bergerak di dalam Gereja, apakah Gereja tidak menjadi dunia tertutup dan iman Kristiani hanya menjadi benteng bagi dunia? Karena itu hubungan antara katekese dan masalah masyarakat dipandang semakin penting. Katekese yang terlibat dalam masalah masyarakat tidak terutama dimaksudkan untuk mempertobatkan orang. Secara lebih positif katekese bertujuan membangun persaudaraan semua orang. Dalam suasana yang bersaudara, dosa dan kesalahan sesama saudara dapat dihapus agar mereka boleh ikut terlibat dalam usaha pembebasan (datangnya Kerajaan Allah). Lain halnya kalau katekese bertujuan menegakkan ajaran, maka dosa dilihat sebagai hutang yang harus dilunasi. Padahal dengan unsur cinta kasih dan persaudaraan, dosa dan kesalahan atau hutang dapat dihapus oleh siapa saja. Inilah yang dibuat oleh Yesus, karena itu Ia dimusuhi oleh para penegak hukum. Sekalipun demikian yang penting bagi Yesus bukan mempertobatkan orang berdosa tetapi menghapus dosanya lalu bersama-sama membangun Kerajaan Allah di mana semua manusia bersaudara. Katekese Kontekstual, iman yang kita miliki bukan berhenti hanya percaya tetapi menjadi motor yang kita bagikan terhadap sesama, seperti ungkapan Santo Yakobus “Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:17), hal ini selaras juga dengan ungkapan Paulo Freire dalam bukunya Pendagogi Hati “... ada dalam iman berarti bergerak, menerjunkan diri ke dalam berbagai bentuk tindakan yang bertautan dengan iman kepercayaan itu ...”





Kasih Yesus itu seperti ‘TRANS TV’ milik kita bersama, cintaNya seperti ‘SCTV’ satu untuk semua. Percayalah Yesus membuat kita seperti ‘RCTI’ yang semakon oke.
(Ulangan 31:8)









DAFTAR PUSTAKA
Dick Hartoko. (1984). Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.
http://digilib.petra.ac.id/ads-cgi/viewer.pl/jiunkpe/s1/ikom/2009/jiunkpe-ns-s1-2009-51401075-5269-yamaha_mio-chapter2.pdf
Iswarahadi Y. I. (2003). Beriman dengan Bermedia. Yogyakarta: Kanisius.
Konsili Vatikan II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II (R. Hardawiryana, Penerjemah). Jakarta: Obor. (Dokumen asli ditebitkan tahun 1966).
Mansur, Awali. (1993). Manfaat dan Mudarat Televisi. Jakarta: Fikahati Anska.
Tanpa Pengarang. 1997. UU Penyiaran Nomor 24. Jakarta: Sinar Gratika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar