Bersyukur itu Indah
Pada suatu kesempatan saya merayakan ekaristi di sebuah paroki. Biasanya ada acara istimewa bagi anak-anak yang belum komuni pertama yaitu pastor memberi berkat khusus bagi mereka setelah komuni kudus orang dewasa. Dari banyak anak yang saya berkati, ada beberapa yang sadar dan mengucapkan kata terima kasih kepadaku. Ada seorang anak yang di antar ibunya. Setelah saya memberkatinya, ibunya menyuruhnya: “Say thanks to Romo”. Anak itu memandang saya dan berkata: “Thank you Romo”. Saya kembali ke rumah dengan sukacita karena bertemu dengan orang tua yang mengajar anaknya untuk tahu berterima kasih. Banyak kali kata terima kasih sebagai ungkapan rasa syukur kita itu dilupakan begitu saja. Mungkin kita terlalu dimanja oleh sesama dan situasi nyata. Coba pikirkanlah: Berapa kali para pasutri saling mengucap terima kasih satu sama lain? Berapa kali orang tua mengucapkan terima kasih kepada anak-anaknya? Kadang-kadang rasanya lebih mudah kita mengucapkan terima kasih kepada orang-orang lain di luar rumah kita dari pada dengan mereka yang serumah. Padahal dengan saling mengucapkan terima kasih di rumah, kita juga merasa diri kita bernilai dan dikasihi seadanya.
Penginjil Lukas pada hari mengisahkan sepuluh orang kusta yang mengharapkan penyembuhan dari Yesus. Kali ini Yesus dalam perjalanan ke Yerusalem dan Ia menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika mendengar bahwa Yesus berada di suatu desa, orang-orang kusta itu datang, berdiri dari jauh dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami”. Mengapa mereka berdiri dari jarak jauh? Karena mereka dikucilkan masyarakat, mereka sebanding dengan sampah. Ketika mereka mengalami penyakit kulit tertentu, berupa borok bahkan sampai menjadi kusta maka mereka itu dianggap najis. Oleh karena itu mereka harus berpakaian compang-camping, dengan rambut tidak terurus. Mereka juga harus berteriak “Saya ini orang kusta” supaya orang sehat segera menjauhkan diri dari padanya. Bagi orang zaman itu, orang lepra atau kusta mengalami siksaan Tuhan karena dosa.
Bagaimana sikap Yesus? Ia mendengar dan memandang mereka. Mendengar dan memandang itu berarti mengasihi mereka apa adanya, simpatik dengan mereka dan Ia pasti mau menyembuhkan mereka. Ia menyuruh mereka untuk memperlihatkan diri mereka kepada imam bahwa mereka sudah sembuh supaya bisa kembali bergabung di dalam komunitas. Dari kesepuluh orang kusta itu, hanya orang Samaria yang tahu bersyukur. Ia kembali kepada Yesus dan menyembahNya. Imannya kepada Yesus menyelamatkan dia.
Perikop Injil hari ini memang sangat menarik. Orang-orang kusta merasa membutuhkan Yesus maka mereka datang kepadaNya, berani berteriak untuk minta tolong.Pertanyaan bagi kita adalah apakah ketika kita mengalami musibah tertentu, kita masih punya waktu untuk datang kepada Yesus dan meminta pertolongan? Atau kita mengandalkan diri kita sendiri dan tidak membutuhkan Tuhan? Masalahnya adalah kadang-kadang kita seperti sembilan orang kusta Yahudi yang setelah merasa sembuh tidak kembali kepada Tuhan untuk bersyukur. Kita seharusnya menjadi Yesus bagi sesama.Ketika mendengar namanya dipanggil oleh orang kusta, Ia mendengar dan memandang mereka dengan kasih. Tatapan Yesus menyembuhkan mereka. Apakah kita bisa menyerupai Yesus yang mendengar dan memandang sesama yang sakit atau sangat membutuhkan pertolongan kita?
Mengatakan syukur itu indah. Oleh karena itu kita belajar bersyukur. Syukuri apa adanya karena hidup kita adalah sebuah anugerah. Pada hari ini kita bersyukur kepada Tuhan, bersyukur kepada sesama kita. Bersyukur itu indah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar