A. Pengertian dan Ciri-ciri Puisi
Puisi ialah perasaan penyair yang diungkapkan
dalam pilihan kata yang cermat, serta mengandung rima dan irama. Ciri-ciri
puisi dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud puisi
tersebut. Bahasa puisi mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan wujud
puisi terdiri dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan
tidak mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan
membedakannya dari bentuk prosa.
1. Jenis-jenis Puisi
Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern.
Puisi lama adalah puisi yang lahir sebelum masa
penjajahan Belanda, sehingga belum tampak adanya pengaruh dari kebudayaan
barat. Sifat masyarakat lama yang statis dan objektif, melahirkan bentuk puisi
yang statis pula, yaitu sangat terikat pada aturan tertentu. Puisi lama terdiri
dari mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka, gurindam, dan syair.
Puisi baru adalah puisi yang muncul pada masa
penjajahan Belanda, sehingga pada puisi baru tampak adanya
pengaruh dari kebudayaan Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan pada
jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi
distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septima, stanza atau oktaf, serta
soneta.
Puisi modern adalah puisi yang berkembang di
Indonesia setelah masa penjajahan Belanda. Berdasarkan cara pengungkapannya,
puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
2. Analisis Unsur-unsur Intrinsik Puisi
Untuk memahami makna sebuah puisi dapat dilakukan
dengan menganalisis unsurunsur intrinsiknya, misalnya dengan mengkaji gaya
bahasa dan bentuk puisi. Gaya bahasa yang dipergunakan penyair mencakup:
(1) Gaya bunyi yang meliputi: asonansi,aliterasi,
persajakan, efoni, dan kakofoni.
(2) Gaya kata yang membahas tentang pengulangan
kata dan diksi.
(3) Gaya kalimat yang berisi gaya implisit dan
gaya retorika.
(4) Larik, dan
(5) bahasa kiasan.
Memahami puisi melalui bentuknya dapat dilakukan dengan
menelaah tipografi, tanda baca, serta enjambemen. Untuk mempermudah dan
memperjelas penganalisisan puisi, di depan setiap larik berilah bernomor urut.
Apabila puisi yang hendak dianalisis tersebut memiliki beberapa bait, dapat
pula diberi bernomor pada setiap baitnya.
3. Penafsiran Puisi (Interpretasi)
Agar dapat memahami isi puisi diawali dengan
menelaah atau melakukan kajian terhadap gaya maupun bentuk puisi yang
bersama-sama membentuk suatu keutuhan isi puisi. Perhatikan jika terdapat
hal-hal yang menarik perhatian, misalnya judul serta kekerapan kata. Banyaknya
kata yang berulang dapat menggiring pembaca dalam memahami tema. Jika terdapat
bait yang mengandung sedikit lirik, biasanya di sanalah tertuang tema puisi.
Seperti halnya pada judul yang juga dapat membayangkan tema. Tetapi ingat,
judul belum tentu sama dengan tema. Mengetahui tema serta akulirik merupakan
langkah pertama yang harus dilakukan dalam upaya memahami puisi.
Untuk memahami
sebuah puisi kita harus juga dapat menangkap simbol-simbol atau lambang-lambang
yang dipergunakan oleh penyair. Bila kita salah dalam menafsirkan makna
simbol/lambang, kita dapat salah dalam memahami isinya.
B. Cara & Tips Membaca Puisi Yang Baik & Benar
Kegiatan membaca puisi (poetry reading) mulai populer sejak
hadirnya kembali WS. Rendra (Alm) dari kelananya di Amerika Serikat. Agar Anda
dapat membaca puisi dengan baik perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1. Teknik vokal
Untuk pengucapan yang komunikatif diperlukan penguasaan intonasi, diksi,
jeda, enjambemen, dan lafal yang tepat.
2. Performance (penampilan)
Dalam hal ini pembaca puisi dituntut untuk dapat memahami
pentas dan publik. Pembaca puisi juga dapat menunjukkan sikap dan penampilan
yang meyakinkan. Berani menatap penonton dan mengatur ekspresi yang tidak
berlebihan. Selain itu, pembaca puisi harus memperhatikan pula irama serta
mimik. Mimik merupakan petunjuk apakah seseorang sudah benar-benar dapat
menjiwai atau meresapkan isi puisi itu. Harmonisasi antara mimik dengan isi
(maksud) puisi merupakan puncak keberhasilan dalam membaca puisi.
Ingatlah tidak setiap puisi dapat dibaca (dilisankan) tanpa
menempatkan tanda tafsir pengucapannya terlebih dahulu. Adakalanya Anda menemui
deretan baris atau bait yang satu dengan yang lain mempunyai jalinan pengucapan
atau ada pula yang secara tertulis terpisah, sehingga perlu jeda. Bila Anda
kurang tepat dalam memberi jeda, akan dapat mengaburkan maknanya.
Seorang penyair mempunyai beberapa kiat agar puisinya dapat
dicerna atau dinikmati pembaca. Penyair kerap menampilkan gambar angan atau
citraan dalam puisinya. Melalui citraan penikmat sajak memperoleh gambaran yang
jelas, suasana khusus atau gambaran yang menghidupkan alam pikiran dan perasaan
penyairnya.
Perhatikan kutipan sajak Amir Hamzah berikut ini:
Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Dalam puisi di atas citraan penglihatan yang terasa ada dalam angan-angan
pembaca. Pembaca seolah melihat sosok wanita rupawan yang mengintai dari balik
tirai.
Di samping citraan/imajinasi visual (yang menimbulkan pembaca
seolah-olah dapat melihat sesuatu setelah membaca kata-kata tertentu), terdapat
pula imajinasi lain, seperti imajinasi auditory (pendengaran), imajinasi
articulatory (seolah mendengar kata-kata tertentu), imajinasi alfaktory (seolah
membau/mencium sesuatu), imajinasi organik (seolah Anda seperti merasa lesu,
capek, ngantuk, lapar, dan sebagainya).
Setelah Anda dapat menafsirkan lambang-lambang dalam puisi,
untuk mewujudkan keutuhan makna, Anda dapat lakukan langkah parafrasa puisi,
memberi tanda jeda, serta tekanan atau intonasinya.
Yang perlu diingat bahwa dalam mencoba memahami sebuah puisi
perlu memperhatikan judul, arti kata, imajinasi, simbol, pigura bahasa, bunyi/rima,
ritme/irama, serta tema puisi.
C. Membaca puisi sebagai Apresiasi Puisi
Secara makna leksikal, apresiasi (appreciation)
mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan,
penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti,
1985:2002). Sementara itu, Effendi (1973: 18) menyatakan bahwa apresiasi sastra
adalah menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh
pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang
baik terhadap cipta sastra.
Pada dasarnya, kegiatan membaca puisi merupakan upaya
apresiasi puisi. Secara tidak langsung, bahwa dalam membaca puisi, pembaca akan
berusaha mengenali, memahami, menggairahi, memberi pengertian, memberi
penghargaan, membuat berpikir kritis, dan memiliki kepekaan rasa. Semua aspek
dalam karya sastra dipahami, dihargai bagaimana persajakannya, irama, citra,
diksi, gaya bahasa, dan apa saja yang dikemukakan oleh media. Pembaca akan
berusaha untuk menerjemahkan bait perbait untuk merangkai makna dari makna
puisi yang hendak disampaikan pengarang. Pembaca memberi apresiasi, tafsiran,
interpretasi terhadap teks yang dibacanya Setelah diperoleh pemahaman yang
dipandang cukup, pembaca dapat membaca puisi.
Karena kata “membacakan” mengandung makna benefaktif, yaitu melakukan
sesuatu pekerjaan untuk orang lain, maka penyampaian bentuk yang mencerminkan
isi harus dilakukan dengan total agar apresiasi pembaca terhadap makna dalam
puisi dapat tersampaikan dengan baik kepada pendengar. Makna yang telah
didapatkan dari hasil apresiasi diungkapkan kembali melalui kegiatan membaca
puisi. Dapat pula dikatakan sebagai suatu kegiatan transformasi dari apresiasi
pembaca dengan karakter pembacaannya, termasuk ekspresi terhadap penonton.
1. Faktor-faktor Penting dalam Membaca puisi
Setiap bentuk dan gaya baca puisi selalu menuntut adanya ekspresi wajah,
gerakan kepala, gerakan tangan, dan gerakan badan. Keempat ekspresi dan gerakan
tersebut harus memperhatikan (1) jenis acara: pertunjukkan, pembuka acara resmi,
performance-art, dll, (2) pencarian jenis puisi yang cocok dengan tema:
perenungan, perjuangan, pemberontakan, perdamaian, ketuhanan, percintaan, kasih
sayang, dendam, keadilan, kemanusiaan, dll, (3) pemahaman puisi yang utuh, (4)
pemilihan bentuk dan gaya baca puisi, (5) tempat acara: indoor atau outdoor,
(6) audien, (7) kualitas komunikasi, (8) totalitas performansi: penghayatan,
ekspresi, (9) kualitas vokal, (10) kesesuaian gerak, dan (11) jika menggunakan
bentuk dan gaya teaterikal, harus memperhatikan (a) pemilihan kostum yang
tepat, (b) penggunaan properti yang efektif dan efisien, (c) setting
yang sesuai dan mendukung tema puisi, (d) musik yang sebagai musik pengiring
puisi atau sebagai musikalisasi puisi
2. Bentuk dan Gaya dalam Membaca puisi
Suwignyo (2005) mengemukakan bahwa bentuk dan gaya baca puisi dapat dibedakan
mejadi tiga, yaitu (1) bentuk dan gaya baca puisi secara poetry reading,
(2) bentuk dan gaya baca puisi secara deklamatoris, dan (3) bentuk dan gaya
baca puisi secara teaterikal.
2.1. Bentuk
dan Gaya Baca Puisi secara Poetry Reading
Ciri khas dari bentuk dan gaya baca puisi ini adalah
diperkenankannya pembaca membawa teks puisi. Adapaun posisi dalam bentuk dan
gaya baca puisi ini dapat dilakukan dengan (1) berdiri, (2) duduk, dan (3)
berdiri, duduk, dan bergerak.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi
berdiri, maka pesan puisi disampaikan melalui gerakan badan, kepala, wajah, dan
tangan. Intonasi baca seperti keras lemah, cepat lambat, tinggi rendah
dilakukan dengan cara sederhana. Bentuk dan gaya baca puisi ini relatif mudah
dilakukan.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi
duduk, maka pesan puisi disampaikan melalui (1) gerakan-gerakan kepala:
mengenadah, menunduk menoleh, (2) gerakan raut wajah: mengerutkan dahi,
mengangkat alis, (3) gerakan mata: membelakak, meredup, memejam, (4) gerakan
bibir: tersenyum, mengatup, melongo, dan (5) gerakan tangan, bahu, dan badan,
dilakukan seperlunya. Sedangkan intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca
dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat katakata tertentu,
dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca puisi duduk,
berdiri, dan bergerak, maka yang harus dilakukan pada posisi duduk adalah (1)
memilih sikap duduk dengan santai, (2) arah dan pandangan mata dilakukan secara
bervariasi, dan (3) melakukan gerakan tangan dilakuakan dengan seperlunya.
Sedang yang dilakukan pada saat berdiri adalah (1) mengambil sikap santai, (2)
gerakan tangan, gerakan bahu, dan posisi berdiri dilakukan dengan bebas, dan
(3) ekspresi wajah: kerutan dahi, gerakan mata, senyuman dilakukan dengan
wajar. Yang dilakukan pada saat bergerak adalah (1) melakukan dengan tenang dan
terkendali, dan (2) menghindari gerakan-gerakan yang berlebihan. Intonasi baca
dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca
dengan lambat katakata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata
tertentu.
2.2. Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara Deklamatoris
Ciri khas dari bentuk dan gaya baca puisi seacra deklamatoris
adalah lepasnya teks puisi dari pembaca. Jadi, sebelum mendeklamasikan puisi,
teks puisi harus dihapalkan. Bentuk dan gaya baca puisi ini dapat dilakukan
dengan posisi (1) berdiri, (2) duduk, dan (3) berdiri, duduk, dan bergerak.
Jika deklamator memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi
berdiri, maka pesan puisi disampaikan melalui (1) gerakan-gerakan tangan:
mengepal, menunjuk, mengangkat kedua tangan, (2) gerakan-gerakan kepala:
melihat ke bawah, atas, samping kanan, samping kiri, serong, (3)
gerakan-gerakan mata: membelalak, meredup, memejam, (4) gerakan-gerakan bibir:
tersenyumm, mengatup, melongo, (5) gerakan-gerakan tangan, bahu, badan, dan
raut muka dilakukan dengan total. Intonasi baca dilakukan dengan cara (1)
membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat kata-kata
tertentu, (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.
Jika deklamator memilih bentuk dan gaya dengan posisi duduk,
berdiri, dan bergerak, maka yang dilakukan pada posisi duduk adalah (1) memilih
posisi duduk dengan santai, kaki agak ditekuk, posisi mriing dan badan agak
membungkuk, Dan (2) arah dan pandangan mata dilakukan bervariasi: menatap dan
menunduk. Sedang yang dilakukan pada posisi berdiri (1) mengambil sikap tegak
dengan wajah menengadah, tangan menunjuk, dan (2) wajah berseri-seri dan bibir
tersenyum. Yang dilakukan pada saat bergerak (1) melakukan dengan tenang dan
bertenaga, dan (2) kaki dilangkahkan dengan pelan dan tidak tergesa-gesa.
Intonasi dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2)
membaca dengan lambat kata-kata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi
kata-kata tertentu.
2.3. Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara Teaterikal
Ciri khas bentuk dan gaya baca puisi teaterikal bertumpu pada totalitas
ekspresi, pemakaian unsur pendukung, misal kostum, properti, setting, musik,
dll., meskipun masih terikat oleh teks puisi/tidak. Bentuk dan gaya baca puisi
secara teaterikal lebih rumit daripada poetry reading maupun
deklamatoris. Puisi yang sederhana apabila dibawakan dengan ekspresi akan
sangat memesona.
Ekspresi jiwa puisi ditampakkan pada perubahan tatapan mata dan sosot mata.
Gerakan kepala, bahu, tangan, kaki, dan badan harus dimaksimalkan. Potensi teks
puisi dan potensi diri pembaca puisi harus disinergikan. Pembaca dapat
menggunakan efek-efek bunyi seperti dengung, gumam, dan sengau diekspresikan
dengan total. Lakuan-lakukan pembaca seperti menunduk, mengangkat tangan,
membungkuk, berjongkok, dan berdiri bebas diekspresikan sesuai dengan motivasi
dalam puisi. Aktualisasi jiwa puisi harus menyatu dengan aktualisasi diri
pembaca.
Inilah bentuk dari gaya baca puisi yang paling menantang untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairil. (2000). Derai-derai Cemara. Jakarta: Yayasan
Indonesia.
Atmazaki. (1993). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan
Aplikasi. Bandung: Angkasa.
Bachri, Sutardji Calzoum. (1981). O, Amuk, Kapak. Jakarta:
Sinar Harapan.
Hamzah, Amir. (1977). Buah Rindu. Jakarta: Dian Rakyat.
http://www.sentra-edukasi.com/2009/11/cara-tips-membaca-puisi-yang-baik-benar.html
Ismail, Taufik. (1993). Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan
Ananda.
Pradopo, Rachmat Djoko. (1990). Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Situmorang, B. P. (1983). Puisi: Teori Apresiasi Bentuk dan
Struktur. Ende-Flores: Nusa Indah.
Waluyo, Herman J. (1991). Teori dan Apresiasi
Puisi. Jakarta: Erlangga.