EPISODE MERDEKA
Karya : Muhammad Ansori
Masih saja
kau hitungi deru waktu.
Detak-detak
yang hening pada dahi
tlah kau
tandai dengan kecut darah.
Aku berdiam
pada fragmen abad, menatap
kesucian
yang menggeletak di lantai pertiwi
sambil
mengaji baris kata yang
kau bujuri
bersama tanah dan tubuh;
Merdeka!!!
Detak-detak
tlah hening pada dahimu
Namun masih
saja kau hitungi deru waktu
Tentang
abad-abad perang, miskinnya selubung tubuh.
Getir jiwa,
lepuh, dan merdeka yang
Tak
sampai-sampai menghampiri dada.
Lihatlah!
Aku, anakmu akan bangkit satu-satu
Membawa tubuh dengan arak-arakan nurani.
Bagai
laba-laba, akan kami jarring dendam
dari luka
nanah yang tlah mereka toreh:
Kalau racun biarlah beracun
Kalau duri biarlah perih
Kami akan hidup dari
hatimu
Lihatlah!
Anakmu tlah bangkit berdiri
Dari mati kami kembali
Jambi, Agustus 1999
ELEGI
Karya : D. Zawawi Imron
Indonesia! Karena aku lahir dipangkuanmu,
Aku adalah anakmu.
Aku kini membaca redup wajahmu
Segumpal mendung menutup dahimu
Air matamu mengalir seperti sungai panjang
Menggali luka dalam diriku
Dan burung-burung gelatik yang cantik terbang
Di atas sawah yang luas
Suaranya mencicit
Menampung nafas-nafas yang letih.
Itupun berbaur dengan teriak gagak yang mengabarkan
Bangkai anak-anak yang tak bersalah
Kelelawar-kelelawar hitam simpang siur di udara,
Memekik-mekik
Karena diusir cerobang-cerobong perkasa.
Kalau mereka lari ke hutan,
Hutan pun sedang terbakar, Tuhan!
Ampunilah kami, karena
Kami masih tersesat walau di jalan
terang.
“Adik-adik kecil yang manis!
Jangan mandi di situ, air sungai
itu bercampur limbah,
Nanti kalau kamu dewasa kulitmu
tidak sempurna
Sebagai anak Indonesia. Aku tak
ingin, kamu jadi
Orang
asing di atas tanah kelahiranmu sendiri.”
Aku terkenang sebuah taman pahlawan
Gundukan-gundukan tanah
Yang diguguri bunga kamboja. Aku yakin, jasad-jasad
Yang jadi tulang-belulang itu lebih wangi dari bunga
Merekalah yang 50 tahun yang lalu tersungkur sambil
Berteriak “Merdeka”
Dan merdekalah tumpah darah kami.
Inilah tanah yang buncah ombaknya
Tak kunjung usai menyebut nama Tuhan
Pohon-pohon, dan sungai, dan kerikil, dan kuda-kuda
Yang menderap, serta angina malam yang lembut
Siap menerjemahkan suara nurani
Dan menjahit kain sarung yang
compang-camping
Apa pun yang akan terjadi,
Indonesia, aku tetap anak-anakmu
Pemilik daratan hijau dan gunung batu
Di atas cadik yang memanjat
Gelombang kami tetap bernyanyi
Agar matahari besok lebih cemerlang lagi
Maka, di ceruk lembah itu akan kami gali sebuah sumur,
Dan semua orang silahkan meneguk
Sejuknya nuraninya sendiri di situ
Dan bendera itu biar semakin damai berkibar
Dikipas rahmat Tuhan
Dan syukur kami yang tak kunjung
henti
1995
(dikutip dari Serpihan Sajak:
“Jalan Hati Jalan Samudra”)
SURAT UNTUK AMELIA
Karya : Iyut Fitra
suratku yang terakhir untukmu, amelia, bacalah
sebelum negeri ini terpanggang, menjadi abu yang masai
di sini taka da
rimbun daun bambu, pokok cemara, atau setiup angin desir
seperti dadaku
kering
hutan-hutan itu
dikalahkan kerakusan. irama lading mati atau
lenguh lahan
sunyi
hanya gemerisik
dari lelalang mersik. irama lembah tinggal kisah
selebihnya
rinduku padamu
tak sampai
bila jiwamu bergetar. karena baris-barisku mengiris ngilu
di nadimu
datanglah ke tandus bukit cinta pernah bertemu
tak perlu
menangis, amelia, bila perih tak bisa kau usir
karena
burung-burung kerubung mencari sangkar. dahan-dahan telah rengkah
kubisikkan
padamu mimpi kita
di tepi sungai itu, bila perkawinan tak jadi kita
langsungkan
wariskan pada anak-anak kelak, “bahwa di negeri ini kita
pernah menanam cinta!”
lalu senyum
alirkanlah dari hulu ke muara
hanyutkan
bibir mungilmu yang dusun agar mereka mengerti tentang musim
atau bila surat terakhirku tak pernah kau baca, amelia
karena negeri ini telah terpanggang
bernyanyilah di setiap senja. di langit kelabu itu kutulis
sepenggal sejarah
di sini,
kedamaian telah dijarah!
Payakumbuh 2006
(dikutip dari: Anugerah
Sastra Pena Kencana “100 Puisi Indonesia
Terbaik 2008”)