Perayaan Hari Kartini:
Pembohongan Sejarah Kepada Generasi Muda
Setiap tanggal 21 April, kita ‘merayakan’ hari Kartini. Hari lahir perempuan pahlawan Raden Ajeng Kartini ini diperingati sebagai tonggak kebangkitan perempuan Indonesia pada kesadaran akan kesamaan Hak dan kesetaraan jender dengan kaum laki-laki. Hari Kartini diperingati sebagai hari emansipasi wanita, minimal secara lokal di Indonesia.
Hari Kartini ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1964 via Keppres RI No 108/1964 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno.
Sekarang, di sekolah-sekolah dan di instansi pemerintahan, hari Kartini dirayakan dengan ramai-ramai berpakaian adat nasional. Entah apa hubungannya emansipasi wanita dengan pakaian daerah. Apa karena Kartini sering terlihat berkebaya lantas rasanya terlalu memaksakan jika dirayakan dengan berkebaya semua, sementara anda tahu sendiri kebaya cuma ada di Jawa doang?
Nah agar menasional dan tidak terkesan Kartini hanya untuk emansipasi wanita Jawa, maka dirayakan juga dengan pakaian daerah non-kebaya? Hmm… bangsa kita memang lebih menikmati kemasan daripada esensinya. Bahkan pada kemasan tanpa esensi sekalipun.
Kemudian, sederhana aja: kenapa Kartini? Apa pahlawan emansipasi disini cuma Kartini? Atau Kartini dianggap paling besar pengorbanannya dibanding wanita pahlawan lain?
Tidak seperti dengan Cut Nya’ Dhien, Christina Martha Tiahahu, Kartini tidak berhadapan langsung dengan penjajah, bahkan Kartini hidup dalam kemewahan lingkungan pemerintahan penjajah Belanda dan bangsawan Jawa pada waktu itu. Kartini tidak mengorbankan nyawa seperti Cut Nya’ Dhien atau Martha Tiahahu menghadapi penjajah.
Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, di artikel “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), mengatakan bahwa kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Ide emansipasi Kartini hanyalah hasutan teman-teman diskusinya. Di antaranya adalah Rosa Abendanon, istri JH Abendanon, menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan pada masa kolonial. Naskah-naskah asli surat-surat Kartini tidak jelas statusnya dan tak jelas keberadaannya. Buku Kartini terbit pada saat pemerintah kolonial sedang mengkampanyekan politik etis di Hindia Belanda.
Dari sisi kaum feminisme, aliran yang 11-12 dengan ide emansipasi wanita seperti yang diperjuangkan Kartini, fakta hidup Kartini tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam surat-suratnya. Kartini sendiri menjadi istri keempat bupati Rembang.
Kalau menurut anda pahlawan wanita yang memperjuangkan peningkatan derajat kaum wanita hanya Kartini, maka anda salah.
Dewi Sartika, wanita kelahiran Bandung, 4 Desember 1884, adalah tokoh perintis pendikan untuk perempuan yang terlupakan oleh generasi bangsa ini. Dewi Sartika diakui sebagai pahlawan nasional 2 tahun sejak Kartini diakui, yakni pada 1966.
Berbeda dengan Kartini yang mendirikan sekolah hanya untuk kaum priyayi dan bangsawan, Dewi Sartika sejak berumur 10 tahun sudah menyebarkan ilmu baca-tulis dan bahasa Belanda kepada perempuan-perempuan dari rakyat jelata, kebanyakan dari anak-anak pembantu di kepatihan. Tak heran perbuatan Dewi Sartika membuat kehebohan karena pada masa itu tidak mungkin anak rakyat jelata bisa baca-tulis, apalagi belajar bahasa Belanda!
Sekolah Kartini adalah sekolah khusus priyayi atau Bangsawan. Adalah hal lazim bagi keluarga bangsawan bisa baca-tulis mengingat mereka memang diizinkan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, meski tidak sampai jenjang tinggi.
Sekolah Kartini berasal dari fasilitas atau kekayaan suami dan keluarganya yang kebetulan memang pembesar di Jepara waktu itu.
Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda dengan harta dan tabungan pribadinya sendiri ketika ia membeli sebidang tanah dan mendirikan sekolah di sana. Memang, tidak murni seluruhnya harta pribadi, karena bupati Bandung pun ikut menyumbang, tapi dalam perkembangannya, biaya renovasi dan perawatan sekolah menggunakan harta pribadi Dewi Sartika sendiri hingga berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).
Bertahun-tahun setelah itu Sakola Istri menginspirasi perempuan-perempuan Sunda untuk mendirikan sekolah-sekolah serupa. Sehingga pada tahun 1920 tiap kabupaten di Pasundan memiliki sekolah perempuan, bahkan Sakola Kautamaan Perempuan menyebar hingga Bukittinggi yang didirikan oleh Encik Rama Saleh.
See, tidak hanya di daerah Jepara dan Rembang.
Namun rekayasa kolonial mengerdilkan nama Dewi Sartika dan jasa-jasanya kepada perempuan, rakyat biasa, bangsa ini. Pemerintah kolonial lebih suka “menerbitkan” Kartini ketimbang Dewi Sartika. Ini tidak aneh, mengingat Ayah Dewi Sartika, Raden Rangga Somanegara, adalah seorang anti pemerintah kolonial Belanda. Rangga Somadinata sendiri dibuang pemerintah kolonial ke Ternate hingga meninggal disana.
Jelas terlihat, jika Kartini berasal dari keluarga bangsawan yang berkolaborasi dengan penjajah, Dewi Sartika memang lahir dari keluarga pejuang dan berjuang untuk melawan penjajahan melalui pencerdasan kaum perempuan. Jika Kartini hanya beretorika emansipasi perempuan melalui surat-suratnya, Dewi Sartika tidak. Dewi Sartika konsisten menolak dijadikan istri muda atau selir dan praktik langsung menjadi guru di sekolah-sekolahnya.
Kartini terkenal melalui tulisan-tulisannya. Tulisan Kartini menyebar hingga ke Eropa karena mediasi tokoh-tokoh emansipasi Belanda. Inilah perbedaannya dengan Dewi Sartika. Tulisan Kartini bisa dibaca generasi setelahnya. Hasil kerja langsung Dewi Sartika juga bisa dinikmati generasi berikutnya. Tapi ide Dewi Sartika tidak tertulis sehingga tidak terdokumentasi oleh sejarah, terlebih perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial waktu itu.
Berarti karena Dewi Sartika tidak menulis maka ia kalah populer dibanding Kartini? Tidak juga.
Roehanna Koeddoes (1884-1972) adalah wartawati pertama Indonesia. Tulisan-tulisannya menyemangati perempuan-perempuan bangsa untuk berfikir maju dan berkiprah sama dengan kaum laki-laki. Roehanna mendirikan sekolah untuk perempuan di Kotagadang yang memberikan pelajaran tulis-menulis, budi pekerti, dan keterampilan lain. Roehanna juga merintis surat kabar khusus untuk perempuan di tanah Melayu “Soenting Melajoe.” Dimana Roehana menjabat langsung sebagai pimpinan redaksinya.
Jasa Roehanna amatlah besar, tak kalah dengan jasa Kartini maupun Dewi Sartika. Tapi mengapa hanya Kartini yang terkenal?
Lagi-lagi terjadi diskriminasi dalam manuskrip sejarah Indonesia. Roehanna dan Dewi Sartika bukan berasal dari Jawa dan tidak berhubungan baik dengan pemerintah kolonial.
Maka perayaan Hari Kartini hanyalah pembohongan kepada generasi muda bangsa ini yang dibutakan wawasannya sehingga berfikir betapa luar biasanya jasa Kartini dibanding wanita pahlawan lain.
Prof Harsya menunjuk 2 nama pahlawan lagi sebagai pembanding. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nurudddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu tahun 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun wanita.
Yang kedua adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun wanita.
Anehnya dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kartini sudah pasti masuk. Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa.
Kartini mungkin berjasa. Tapi jangan sampai pengkultusan padanya justru menghilangkan jasa wanita pahlawan lain yang menurut saya jauh lebih berjasa.
Tidak perlu ada Hari Kartini dengan parade kebaya-kebayaan!
Pembohongan Sejarah Kepada Generasi Muda
Setiap tanggal 21 April, kita ‘merayakan’ hari Kartini. Hari lahir perempuan pahlawan Raden Ajeng Kartini ini diperingati sebagai tonggak kebangkitan perempuan Indonesia pada kesadaran akan kesamaan Hak dan kesetaraan jender dengan kaum laki-laki. Hari Kartini diperingati sebagai hari emansipasi wanita, minimal secara lokal di Indonesia.
Hari Kartini ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1964 via Keppres RI No 108/1964 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno.
Sekarang, di sekolah-sekolah dan di instansi pemerintahan, hari Kartini dirayakan dengan ramai-ramai berpakaian adat nasional. Entah apa hubungannya emansipasi wanita dengan pakaian daerah. Apa karena Kartini sering terlihat berkebaya lantas rasanya terlalu memaksakan jika dirayakan dengan berkebaya semua, sementara anda tahu sendiri kebaya cuma ada di Jawa doang?
Nah agar menasional dan tidak terkesan Kartini hanya untuk emansipasi wanita Jawa, maka dirayakan juga dengan pakaian daerah non-kebaya? Hmm… bangsa kita memang lebih menikmati kemasan daripada esensinya. Bahkan pada kemasan tanpa esensi sekalipun.
Kemudian, sederhana aja: kenapa Kartini? Apa pahlawan emansipasi disini cuma Kartini? Atau Kartini dianggap paling besar pengorbanannya dibanding wanita pahlawan lain?
Tidak seperti dengan Cut Nya’ Dhien, Christina Martha Tiahahu, Kartini tidak berhadapan langsung dengan penjajah, bahkan Kartini hidup dalam kemewahan lingkungan pemerintahan penjajah Belanda dan bangsawan Jawa pada waktu itu. Kartini tidak mengorbankan nyawa seperti Cut Nya’ Dhien atau Martha Tiahahu menghadapi penjajah.
Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, di artikel “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), mengatakan bahwa kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Ide emansipasi Kartini hanyalah hasutan teman-teman diskusinya. Di antaranya adalah Rosa Abendanon, istri JH Abendanon, menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan pada masa kolonial. Naskah-naskah asli surat-surat Kartini tidak jelas statusnya dan tak jelas keberadaannya. Buku Kartini terbit pada saat pemerintah kolonial sedang mengkampanyekan politik etis di Hindia Belanda.
Dari sisi kaum feminisme, aliran yang 11-12 dengan ide emansipasi wanita seperti yang diperjuangkan Kartini, fakta hidup Kartini tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam surat-suratnya. Kartini sendiri menjadi istri keempat bupati Rembang.
Kalau menurut anda pahlawan wanita yang memperjuangkan peningkatan derajat kaum wanita hanya Kartini, maka anda salah.
Dewi Sartika, wanita kelahiran Bandung, 4 Desember 1884, adalah tokoh perintis pendikan untuk perempuan yang terlupakan oleh generasi bangsa ini. Dewi Sartika diakui sebagai pahlawan nasional 2 tahun sejak Kartini diakui, yakni pada 1966.
Berbeda dengan Kartini yang mendirikan sekolah hanya untuk kaum priyayi dan bangsawan, Dewi Sartika sejak berumur 10 tahun sudah menyebarkan ilmu baca-tulis dan bahasa Belanda kepada perempuan-perempuan dari rakyat jelata, kebanyakan dari anak-anak pembantu di kepatihan. Tak heran perbuatan Dewi Sartika membuat kehebohan karena pada masa itu tidak mungkin anak rakyat jelata bisa baca-tulis, apalagi belajar bahasa Belanda!
Sekolah Kartini adalah sekolah khusus priyayi atau Bangsawan. Adalah hal lazim bagi keluarga bangsawan bisa baca-tulis mengingat mereka memang diizinkan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, meski tidak sampai jenjang tinggi.
Sekolah Kartini berasal dari fasilitas atau kekayaan suami dan keluarganya yang kebetulan memang pembesar di Jepara waktu itu.
Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda dengan harta dan tabungan pribadinya sendiri ketika ia membeli sebidang tanah dan mendirikan sekolah di sana. Memang, tidak murni seluruhnya harta pribadi, karena bupati Bandung pun ikut menyumbang, tapi dalam perkembangannya, biaya renovasi dan perawatan sekolah menggunakan harta pribadi Dewi Sartika sendiri hingga berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).
Bertahun-tahun setelah itu Sakola Istri menginspirasi perempuan-perempuan Sunda untuk mendirikan sekolah-sekolah serupa. Sehingga pada tahun 1920 tiap kabupaten di Pasundan memiliki sekolah perempuan, bahkan Sakola Kautamaan Perempuan menyebar hingga Bukittinggi yang didirikan oleh Encik Rama Saleh.
See, tidak hanya di daerah Jepara dan Rembang.
Namun rekayasa kolonial mengerdilkan nama Dewi Sartika dan jasa-jasanya kepada perempuan, rakyat biasa, bangsa ini. Pemerintah kolonial lebih suka “menerbitkan” Kartini ketimbang Dewi Sartika. Ini tidak aneh, mengingat Ayah Dewi Sartika, Raden Rangga Somanegara, adalah seorang anti pemerintah kolonial Belanda. Rangga Somadinata sendiri dibuang pemerintah kolonial ke Ternate hingga meninggal disana.
Jelas terlihat, jika Kartini berasal dari keluarga bangsawan yang berkolaborasi dengan penjajah, Dewi Sartika memang lahir dari keluarga pejuang dan berjuang untuk melawan penjajahan melalui pencerdasan kaum perempuan. Jika Kartini hanya beretorika emansipasi perempuan melalui surat-suratnya, Dewi Sartika tidak. Dewi Sartika konsisten menolak dijadikan istri muda atau selir dan praktik langsung menjadi guru di sekolah-sekolahnya.
Kartini terkenal melalui tulisan-tulisannya. Tulisan Kartini menyebar hingga ke Eropa karena mediasi tokoh-tokoh emansipasi Belanda. Inilah perbedaannya dengan Dewi Sartika. Tulisan Kartini bisa dibaca generasi setelahnya. Hasil kerja langsung Dewi Sartika juga bisa dinikmati generasi berikutnya. Tapi ide Dewi Sartika tidak tertulis sehingga tidak terdokumentasi oleh sejarah, terlebih perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial waktu itu.
Berarti karena Dewi Sartika tidak menulis maka ia kalah populer dibanding Kartini? Tidak juga.
Roehanna Koeddoes (1884-1972) adalah wartawati pertama Indonesia. Tulisan-tulisannya menyemangati perempuan-perempuan bangsa untuk berfikir maju dan berkiprah sama dengan kaum laki-laki. Roehanna mendirikan sekolah untuk perempuan di Kotagadang yang memberikan pelajaran tulis-menulis, budi pekerti, dan keterampilan lain. Roehanna juga merintis surat kabar khusus untuk perempuan di tanah Melayu “Soenting Melajoe.” Dimana Roehana menjabat langsung sebagai pimpinan redaksinya.
Jasa Roehanna amatlah besar, tak kalah dengan jasa Kartini maupun Dewi Sartika. Tapi mengapa hanya Kartini yang terkenal?
Lagi-lagi terjadi diskriminasi dalam manuskrip sejarah Indonesia. Roehanna dan Dewi Sartika bukan berasal dari Jawa dan tidak berhubungan baik dengan pemerintah kolonial.
Maka perayaan Hari Kartini hanyalah pembohongan kepada generasi muda bangsa ini yang dibutakan wawasannya sehingga berfikir betapa luar biasanya jasa Kartini dibanding wanita pahlawan lain.
Prof Harsya menunjuk 2 nama pahlawan lagi sebagai pembanding. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nurudddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu tahun 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun wanita.
Yang kedua adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun wanita.
Anehnya dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kartini sudah pasti masuk. Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa.
Kartini mungkin berjasa. Tapi jangan sampai pengkultusan padanya justru menghilangkan jasa wanita pahlawan lain yang menurut saya jauh lebih berjasa.
Tidak perlu ada Hari Kartini dengan parade kebaya-kebayaan!